Kebijakan tarif impor tinggi yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjadi tantangan serius bagi negara mitra dagang, termasuk Indonesia.
Dalam menghadapi kebijakan proteksionisme ini, salah satu strategi kunci yang dapat dimanfaatkan Indonesia adalah melalui skema Generalized System of Preferences (GSP).
Apa Itu Generalized System of Preferences (GSP)?
Generalized System of Preferences (GSP) adalah skema perdagangan unilateral yang diberikan negara maju, seperti Amerika Serikat, kepada negara berkembang.
Melalui GSP, produk tertentu dari negara penerima dapat masuk ke pasar AS tanpa dikenakan tarif bea masuk atau dengan tarif rendah.
Tujuannya adalah mendorong pertumbuhan ekonomi negara berkembang dengan meningkatkan akses pasar ekspor mereka.
Alternatif Bijak di Tengah Tarif Impor Trump?
Anggota Komisi XI DPR RI, Muhammad Kholid, menekankan pentingnya diplomasi dagang untuk menghadapi kebijakan tarif AS.
Ia menyarankan Indonesia tidak terjebak dalam retaliasi perdagangan yang bisa berdampak buruk terhadap perekonomian nasional.
“Indonesia harus menegosiasikan kembali skema GSP dan berbagai hambatan non-tarif agar tetap bisa mengakses pasar Amerika Serikat," ujar Kholid, Sabtu (5/4/2025) sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis.
Lebih lanjut, Kholid menggarisbawahi bahwa Indonesia perlu segera mendiversifikasi ekspor ke kawasan lain seperti Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan negara-negara BRICS. Langkah ini penting untuk menghadapi perubahan dalam rantai pasok dan lanskap perdagangan global pasca kebijakan tarif tinggi dari Trump.
Amerika Serikat merupakan mitra dagang utama Indonesia, dengan surplus perdagangan mencapai USD 16,8 miliar. Kebijakan tarif ini secara langsung mengancam industri padat karya seperti tekstil, garmen, mebel, elektronik, hingga alat berat otomotif.
“Kita perlu menyiapkan skema fiskal untuk melindungi industri padat karya yang terdampak langsung, serta mengantisipasi risiko PHK massal,” lanjut Kholid.
Tantangan Rantai Pasok hingga Capital Outflow
Prof. Rossanto Dwi Handoyo, pakar ekonomi internasional dari Universitas Airlangga, menambahkan bahwa kebijakan saling balas tarif antara AS dan Cina dapat mengganggu rantai pasok global secara signifikan.
“Jika semua negara saling mengenakan tarif tinggi, harga akhir produk bisa melonjak hingga 100 persen,” jelasnya.
Ia menambahkan perdagangan global bisa menyusut hingga 50 persen jika situasi ini terus berlanjut, mirip dengan Depresi Besar 1930-an,” tambahnya.
Kondisi ini juga berdampak pada arus investasi asing langsung (FDI). Ketidakpastian mendorong investor untuk menunda ekspansi dan memindahkan aset ke instrumen safe haven seperti emas.
Langkah Adaptif, Diplomatis, dan Terukur
Baik Kholid maupun Prof. Rossanto sepakat bahwa Indonesia harus mengambil pendekatan adaptif dan diplomatis. Retaliasi dalam bentuk tarif balasan bukanlah langkah bijak karena ekspor Indonesia masih relatif kecil dan produk-produk ekspornya bisa dengan mudah digantikan oleh negara lain.
“Kalau ekspor turun, produksi menurun, akan ada ancaman PHK, dan itu bahaya sosialnya besar,” tegas Prof. Rossanto.
Menghadapi proteksionisme Trump, memaksimalkan skema GSP adalah solusi realistis dan strategis bagi Indonesia. Tidak hanya menjaga daya saing produk dalam pasar AS, tetapi juga menjadi jalur penting untuk mencegah guncangan besar pada industri dalam negeri.
Ditambah dengan diversifikasi pasar ekspor dan kesiapan mitigasi di sektor keuangan, setidaknya Indonesia bisa menjaga stabilitas ekonominya di tengah ketidakpastian global.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News