#16TahunBeritaBaik
Ketika kita mendengar frasa “mencerdaskan kehidupan bangsa”, apa yang pertama kali terlintas? Bangku sekolah? Seragam putih abu-abu? Atau gedung bertingkat bertuliskan “Sekolah Unggulan Nasional”?
Kalau iya, mungkin kita sedang terjebak dalam kotak sempit pendidikan formal yang terlalu lama jadi satu-satunya panggung kecerdasan. Padahal, mencerdaskan bangsa itu jauh lebih luas. Ia tak melulu soal kurikulum atau angka di rapor.
Ia bisa tumbuh di kolong jembatan, di desa terpencil, di layar ponsel, atau bahkan di meja makan rumah kita.
Sekolah Itu Penting, tapi Bukan Satu-satunya Jalan
Jangan salah, sekolah memang fondasi. Akan tetapi jika semua harapan dicurahkan ke sana, tanpa memberi ruang untuk alternatif, kita sedang mengabaikan jutaan anak yang tak bisa menjangkaunya. Apakah mereka tidak berhak cerdas?
Di banyak tempat, “sekolah” bukan gedung, melainkan warung kopi, balai desa, atau kolong rumah panggung. Di sanalah anak-anak belajar, bukan hanya membaca dan menghitung, tapi juga berpikir, merasa, dan bermimpi. Sayangnya, mereka sering tak dianggap bagian dari “pendidikan”.
Itu sebabnya, saya percaya bahwa mencerdaskan bangsa tak harus menunggu lonceng sekolah berbunyi. Ia bisa dimulai kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja.
Masyarakat: Mesin Cerdas yang Terlupakan
Mengapa kita selalu menunggu negara untuk bergerak? Bukankah bangsa ini punya satu kekuatan tak tertandingi: gotong royong?
Banyak komunitas di luar sana yang sudah diam-diam bekerja. Ada yang membuka taman baca, mengajar anak jalanan, membuat kelas daring gratis, atau sekadar berbagi cerita inspiratif lewat TikTok. Mereka mungkin bukan guru bersertifikat, tapi mereka punya satu hal yang sangat mahal: kepedulian.
Mencerdaskan bangsa bukan tugas Kementerian Pendidikan semata. Ia adalah panggilan bagi siapa saja yang merasa dirinya bagian dari negeri ini. Tak perlu ijazah pendidikan untuk menjadi pendidik. Kadang, satu percakapan yang membuka mata jauh lebih bermakna daripada sepuluh bab buku pelajaran.
Kita Harus Berhenti Menyamakan Semua Anak
Pendidikan kita terlalu lama terobsesi pada seragam: seragam baju, seragam metode, seragam tujuan. Semua anak didorong menuju satu arah, seolah cerdas hanya berarti bisa matematika dan sains. Tapi bagaimana dengan anak yang berbakat melukis, merakit mesin, atau menggubah lagu?
Cerdas itu beragam. Dan bangsa yang benar-benar cerdas adalah bangsa yang tahu cara merawat setiap potensi warganya, bukan memaksanya jadi satu jenis manusia.
Mari kita akui: selama ini kita lebih sibuk mengejar standar, bukan memekarkan bakat. Padahal, banyak kecerdasan justru lahir di luar standar. Einstein pernah bilang, “Jika kamu menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon, ia akan hidup seumur hidup merasa bodoh.” Kita mungkin telah menciptakan terlalu banyak “ikan yang frustrasi”.
Teknologi: Jembatan atau Jurang?
Kita hidup di era serba-digital. Belajar kini tak harus lewat buku tebal atau guru yang berdiri di depan kelas. Tapi teknologi itu seperti pisau—ia bisa jadi alat potong atau alat lukis, tergantung siapa yang menggunakannya.
Anak kota mungkin belajar coding dari YouTube. Tapi anak di pedalaman masih sibuk mencari sinyal untuk sekadar membuka Google. Jika digitalisasi pendidikan tidak diiringi pemerataan akses, maka ia hanya akan memperkuat ketimpangan.
Saya bukan anti-teknologi. Justru saya percaya, internet bisa jadi akselerator pendidikan. Tapi ia harus dirancang untuk menyentuh semua lapisan, bukan hanya mereka yang sudah melek digital. Jangan sampai masa depan pendidikan hanya menjadi milik mereka yang punya Wi-Fi.
Rumah: Sekolah Pertama yang Sering Terlupakan
Sebelum ada sekolah, anak-anak belajar dari rumah. Belajar bicara, belajar menghargai, belajar hidup. Akan tetapi kini, banyak orang tua menyerahkan semua pada sekolah. Anak-anak dibentuk oleh kurikulum, bukan lagi oleh kasih sayang, percakapan, atau teladan.
Padahal, mencerdaskan bangsa dimulai dari meja makan, dari cerita sebelum tidur, dari pelukan yang tulus. Rumah adalah sekolah pertama, dan mungkin yang paling penting.
Jika setiap rumah bisa menjadi ruang belajar, maka kita tidak perlu membangun gedung baru untuk mencerdaskan bangsa. Kita hanya perlu membangun kesadaran.
Mencerdaskan Bangsa Adalah Tanggung Jawab Kolektif
Saya percaya, mencerdaskan bangsa bukan proyek lima tahun. Ia bukan sekadar angka dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Ia adalah gerakan panjang, diam-diam, penuh kesabaran. Ia hanya mungkin berhasil jika kita semua merasa memiliki peran.
Hari ini, kita bisa mulai dari hal kecil. Membacakan buku untuk adik. Mengajari tetangga menggunakan internet. Menulis cerita yang mencerahkan. Atau bahkan, cukup dengan mendengarkan anak muda yang punya ide berbeda.
Karena bangsa yang cerdas bukan hanya yang pintar membaca, tapi juga pintar mendengar.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News