Apa itu gig economy?
Belakangan, pertanyaan ini yang semakin sering muncul di tengah perubahan cara kerja masyarakat.
Mereka tidak terikat jam kerja tetap atau lokasi kantor. Sistem ini menarik minat banyak orang karena menawarkan kebebasan memilih waktu dan tempat kerja.
Istilah gig economy ini merujuk pada sistem ekonomi yang didominasi oleh pekerjaan jangka pendek atau berbasis tugas.
Dalam sistem ini, seseorang tidak lagi menjadi pegawai tetap sebuah perusahaan, melainkan bekerja secara fleksibel sesuai proyek melalui platform digital.
Contoh nyatanya sudah banyak Kawan GNFI temukan dalam kehidupan sehari-hari. Pengemudi ojek daring, pembuat situs web, desainer grafis lepas, konten kreator, hingga penulis konten digital, semua itu termasuk ke dalam pekerja gig.
Namun, fleksibilitas tersebut juga datang dengan konsekuensi. Tidak semua pekerja gig memiliki jaminan upah tetap, akses terhadap asuransi kesehatan, atau peluang pengembangan karier yang berkelanjutan.
Pekerja Informal yang Terus Bertambah
Menurut data BPS per Agustus 2024, sebanyak 57,95 persen tenaga kerja di Indonesia merupakan pekerja informal.
Banyak di antaranya adalah pekerja gig. Artinya, lebih dari 83 juta orang di Indonesia kini bekerja tanpa status karyawan tetap. Angka ini diprediksi terus meningkat seiring berkembangnya platform digital dan meningkatnya kebutuhan fleksibilitas dalam dunia kerja.
Survei yang dilakukan Research Institute of Socio-Economic Development menunjukkan bahwa alasan utama seseorang memilih pekerjaan gig adalah fleksibilitas waktu.
Selain itu, banyak yang berharap bisa mencapai kenyamanan finansial, bekerja dari mana saja, menjalankan usaha sendiri, atau bahkan pensiun lebih dini.
Namun di balik kebebasan itu, banyak pekerja menghadapi ketidakpastian pendapatan. Tidak adanya kontrak kerja yang jelas, minimnya tunjangan, serta tidak tersedia jalur karier adalah kenyataan yang dihadapi para pekerja gig hari ini.
Bisa Jadi Pilihan, Namun Masih Ada Tantangan
Salah satu tantangan utama dalam gig economy adalah tidak adanya perlindungan yang memadai bagi pekerja.
Banyak perusahaan digital mengklasifikasikan pekerja gig sebagai mitra atau kontraktor independen. Dengan status ini, mereka tidak diwajibkan memberi jaminan sosial, cuti berbayar, atau upah minimum.
Tantangan lain adalah minimnya kesempatan bagi pekerja gig untuk mengembangkan keterampilan. Tanpa pelatihan berkelanjutan dan jalur peningkatan karier, pekerja cenderung terjebak pada pekerjaan yang sama dalam waktu lama tanpa peningkatan penghasilan yang signifikan.
Di sisi lain, pemerintah masih perlu berupaya menyusun kebijakan yang bisa mengakomodasi fleksibilitas tanpa mengabaikan aspek perlindungan.
Alternatif Kebijakan untuk Kesejahteraan Pekerja Gig
Salah satu referensi yang bisa diadaptasi adalah sistem ABC Test dari California yang menentukan kriteria apakah seseorang bisa dikategorikan sebagai pekerja lepas atau harus dianggap sebagai karyawan.
Jika diterapkan secara tepat di Indonesia, pendekatan seperti ini bisa memberikan kejelasan hukum sekaligus perlindungan yang lebih baik.
Singapura menerapkan Progressive Wage Model yang mengaitkan kenaikan upah dengan pelatihan keterampilan. Model ini memungkinkan pekerja meningkatkan penghasilan seiring peningkatan kemampuan.
Misalnya, seseorang bisa mendapatkan insentif lebih tinggi setelah menyelesaikan pelatihan tertentu atau bekerja dalam jangka waktu tertentu.
Di Australia, Fair Work Act memberi perlindungan bagi pekerja gig yang memiliki hubungan kerja mirip karyawan tetap. Perlindungan ini mencakup pengaturan gaji minimum dan hak dalam pemutusan kerja. Indonesia dapat mengembangkan sistem serupa yang disesuaikan dengan karakteristik pasar kerja lokal.
Penting juga bagi platform digital di Indonesia untuk memberikan kontrak kerja yang jelas dan transparan. Hal ini akan membantu mengurangi praktik kontrak palsu serta meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan.
Sistem Kerja yang Adil dan Berkelanjutan untuk Pekerja Gig
Gig economy tidak lagi hanya sebatas istilah populer, tetapi sudah menjadi kenyataan yang dihadapi jutaan pekerja di Indonesia.
Sistem ini menawarkan kebebasan, namun juga menghadirkan risiko baru dalam ketenagakerjaan. Fleksibilitas kerja seharusnya tidak berarti kehilangan hak dasar sebagai pekerja.
Dengan pendekatan yang tepat, sebenarnya gig economy pun tetap bisa menjadi salah satu jalan menuju sistem kerja yang lebih adaptif dan berkeadilan.
Perlindungan tenaga kerja, transparansi kontrak, serta peluang pengembangan diri harus menjadi bagian dari ekosistem gig economy yang sehat.Masa depan kerja di Indonesia akan semakin bergantung pada kemampuan semua pihak dalam menciptakan sistem yang seimbang.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News