Pulau Mansinam di Papua Barat hanyalah beberapa kilometer dari kota Manokwari. Namun pulau bersejarah ini menghadapi krisis pendidikan: satu‑satunya sekolah dasar hanya beroperasi sekitar dua hingga tiga jam sehari dan kekurangan tenaga pengajar.
Banyak anak bahkan di kelas lima atau enam masih belum lancar membaca. Kondisi tersebut mengusik hati Brischo Jody (nama lengkap Brischo Jordy Dudi Padatu), pemuda kelahiran Papua yang sedang menempuh studi di President University.
Ia tergerak untuk membuat perubahan dan mengajak teman‑temannya mendirikan Papua Future Project (PFP) pada akhir 2020. Berangkat dari pengalaman pribadi dan rasa empati terhadap anak‑anak 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal).
Program Papua Future Project
Papua Future Project dibangun sebagai komunitas berbasis proyek untuk menyediakan pendidikan inklusif bagi anak‑anak asli Papua di daerah terpencil.
Moto yang diusung adalah “Every Child Matters”, menegaskan bahwa setiap anak berhak mendapat kesempatan belajar. Untuk mewujudkan visi tersebut, PFP mengembangkan tiga program utama:
- Bimbingan belajar intensif. Setiap Sabtu para relawan menyeberangi laut menuju Pulau Mansinam dan kampung lain untuk mengajar membaca, menulis, berhitung selama 2–3 jam. Materi disampaikan secara menyenangkan dengan permainan edukatif seperti ular tangga dan kartu tanya jawab. Selama pandemi, PFP menggunakanmetode asynchronous learning dengan memutar video pelajaran yang sudah disiapkan dari Jakarta. Setelah pandemi mereda, kelas tatap muka kembali digelar.
- Literasi buku dan literasi keliling. Selain membuka pojok baca di Pulau Mansinam, PFP mengumpulkan dan mendistribusikan buku ke kampung‑kampung terpencil. Program ini bertujuan menumbuhkan budaya membaca dan menyediakan bahan bacaan bagi anak‑anak yang tidak memiliki perpustakaan.
- Program kesehatan dan kolaborasi. Dengan menggandeng UNICEF Indonesia, Kementerian Kesehatan serta lembaga internasional, PFP memberikan penyuluhan kesehatan dasar seperti cara cuci tangan, imunisasi, pencegahan malaria dan stunting. Program ini juga mendorong kesadaran akan hak anak perempuan untuk bersekolah dan mencegah pernikahan dini.
Untuk menyesuaikan dengan kondisi lokal, PFP menyusunkurikulum kontekstual. Pengajaran disesuaikan dengan budaya dan nilai adat setempat agar anak‑anak memahami pentingnya menjaga alam dan menulis cerita tentang budayanya sendiri.
Siswa dikelompokkan dalam tiga level: kelas kecil bagi yang belum bisa membaca, kelas menengah untuk mereka yang sudah lancar, dan kelas besar untuk persiapan masuk jenjang lanjutan. Kurikulum ini juga memadukan pembelajaran teknologi dasar seperti mengetik dan membuat video.
Tantangan dan inovasi
Membangun pendidikan di wilayah terpencil tidak mudah. Relawan harus menempuh perjalanan laut 15‑20 menit ke Pulau Mansinam dengan biaya sewa perahu sekitar Rp 250-300 ribu. Saat dana hibah dari pemerintah belum cair, Brischo menggunakan dana pribadi dan donasi untuk memastikan program tetap berjalan.
Tantangan lain adalah minimnya tenaga pengajar; PFP mengandalkan relawan yang direkrut lewat media sosial dan kini memiliki lebih dari 250 relawan dari seluruh Indonesia. Mereka berkumpul tiga kali seminggu untuk merencanakan materi.
Penggunaan asynchronous learning menjadi inovasi penting saat pandemi COVID‑19 melanda. Relawan membuat materi video di Jakarta, lalu diputar kepada anak‑anak oleh fasilitator lokal.
Setelah pandemi, PFP memadukan pendekatan daring dan tatap muka serta menerapkan adaptive learning, yakni menyesuaikan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan kemampuan tiap siswa. Para relawan juga melatih diri menggunakan kurikulum Merdeka dan menerapkan pendekatan kontekstual agar pelajaran relevan dengan kehidupan sehari‑hari.
Dampak dan pengakuan
Meskipun awalnya hanya berjalan di Pulau Mansinam, Papua Future Project kini berkembang ke 13-14 kampung di Papua Barat, termasuk Sorong, Raja Ampat, Jayapura, Manokwari, dan Manokwari Selatan.
Program PFP telah menjangkau lebih dari 720 anakdan melibatkan sekitar 250 relawan. PFP juga mendapat dukungan dari donor online dan pemuda Indonesia; tercatat 270 pemuda memberikan donasi untuk keberlangsungan kegiatan.
Dedikasi Brischo diakui pada tahun 2022 ketika ia menjadi penerima apresiasi SATU Indonesia Awards bidang pendidikan. Penghargaan ini memungkinkan PFP memperluas jangkauan ke 14 kampung dan melibatkan lebih banyak relawan.
PFP juga diakui sebagai mitra potensial UNICEF dan Kementerian Kesehatan, serta diundang sebagai delegasi lokal Pra‑KTT Y20 di Manokwari. Saat ini tim PFP tengah mendorong transformasi komunitas menjadi Lembaga Masa Depan Papua agar dampak jangka panjang dapat dijalankan.
Harapan dan masa depan
Melalui Papua Future Project, Brischo Jody berharap anak‑anak Papua dapat mengoptimalkan potensi mereka tidak hanya dalam akademik, tetapi juga kesehatan, lingkungan, dan kepercayaan diri. Ia bermimpi menjangkau 100 desa pada 2025 dan menyiapkan program pemberdayaan perempuan adat serta pelatihan guru lokal.
Brischo juga ingin memperluas model pembelajaran kontekstual ke daerah 3T lain di Indonesia, mengajak lebih banyak pemuda menjadi relawan, dan menjadikan PFP sebagai pusat pembelajaran berkelanjutan yang mampu menginspirasi generasi berikutnya.
Kisah Brischo Jody menunjukkan bahwa dengan semangat gotong‑royong, inovasi, dan pengelolaan lokal, upaya kecil dapat menyalakan pelita besar di ujung timur Indonesia. Melalui Papua Future Project, ia membuktikan bahwa anak‑anak Papua berhak mendapatkan masa depan cerah dan kesempatan belajar yang layak.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News