Masyarakat Indonesia beberapa bulan terakhir kembali dikejutkan oleh kenaikan harga berbagai bahan pangan. Beras, cabai, minyak goreng, hingga telur mengalami lonjakan harga yang signifikan. Meski terlihat sebagai persoalan dapur, gejolak harga pangan ini mencerminkan dinamika permintaan dan penawaran agregat dalam perekonomian Indonesia, terutama memasuki awal tahun 2025.
Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional menunjukkan bahwa sebagian besar komoditas pangan mengalami kenaikan harga dari Desember 2024 ke Januari 2025. Lonjakan paling mencolok terjadi pada cabai merah yang meningkat hingga 34 persen. Kenaikan ini terutama disebabkan oleh cuaca ekstrem yang mengganggu pasokan, distribusi yang belum optimal, serta meningkatnya biaya produksi.
Menurut Mankiw (2021), permintaan agregat mencerminkan hubungan antara tingkat harga dan jumlah barang serta jasa yang diminta oleh rumah tangga, perusahaan, pemerintah, dan sektor luar negeri. Komponen AD mencakup Konsumsi (C), Investasi (I), Pengeluaran pemerintah (G), dan Ekspor bersih (NX). Komponen terbesar dalam struktur AD Indonesia adalah konsumsi rumah tangga. Menjelang Ramadan dan Tahun Baru, konsumsi meningkat tajam, didorong pencairan THR dan persiapan masyarakat menghadapi perayaan. Kondisi ini menggeser kurva AD ke kanan, yang berarti meningkatnya permintaan secara tiba‑tiba dalam periode singkat.
Pergeseran kurva AD ke kanan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa, terutama kebutuhan pokok yang permintaannya relatif inelastis. Dengan permintaan meningkat namun pasokan terganggu akibat cuaca buruk, terjadi kombinasi dua tekanan inflasi yaitu Demand‑Pull Inflation (ketika konsumsi meningkat dan mendorong harga naik) dan Cost‑Push Inflation (ketika pasokan menurun akibat biaya produksi yang naik dan gangguan distribusi).
Tabel harga pangan menunjukkan bahwa hampir semua komoditas mengalami kenaikan dari Desember 2024 ke Januari 2025. Kenaikan ini tidak merata, tetapi terjadi terutama pada bahan makanan yang sangat dipengaruhi oleh musim dan cuaca. Kondisi tersebut mengindikasikan adanya tekanan harga yang cukup kuat pada awal tahun, terutama dari kelompok volatile food yang memang mudah berubah karena faktor alam dan distribusi.
Kenaikan paling mencolok terlihat pada cabai merah yang melonjak dari Rp19.650 menjadi Rp26.450, atau sekitar 34 persen. Kenaikan tajam ini menunjukkan bahwa pasokan cabai sangat terganggu akibat cuaca ekstrem dan gangguan panen. Komoditas lain seperti telur ayam dan daging ayam juga mengalami kenaikan, meski tidak setinggi cabai. Sementara itu, bawang putih hampir tidak berubah harganya, yang menunjukkan bahwa sebagian pasokan masih stabil.
Ketika AD bergeser ke kanan, masyarakat ingin membeli lebih banyak barang. Namun, jika kurva AS bergeser ke kiri akibat gangguan pasokan, inflasi menjadi semakin kuat. Interaksi ini menjelaskan mengapa hampir semua komoditas mengalami kenaikan harga serempak. Pada kondisi tersebut, tekanan inflasi tidak hanya berasal dari permintaan tetapi juga dari sisi produksi.
Kenaikan harga kebutuhan pokok menekan daya beli rumah tangga, terutama kelompok berpendapatan rendah. Karena sebagian besar pengeluaran mereka digunakan untuk konsumsi pangan, kenaikan harga membuat mereka mengurangi pembelian barang non‑pangan. Hal ini pada akhirnya menurunkan kecepatan perputaran ekonomi dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional.
Untuk menstabilkan harga, pemerintah dapat melakukan beberapa langkah:
1. Memperkuat cadangan pangan pemerintah (CPP) dan operasi pasar.
2. Meningkatkan koordinasi distribusi antarwilayah.
3. Memberikan subsidi logistik bagi komoditas rawan gejolak.
4. Mengoptimalkan peran Bulog dalam menjaga ketersediaan dan stabilitas harga.
5. Bank Indonesia menjaga stabilitas nilai tukar guna menekan tekanan harga impor.
Jadi dari artikel ini kami dapat menyimpulkan bahwa kenaikan harga pangan pada awal 2025 tidak hanya disebabkan oleh faktor musiman, tetapi merupakan hasil dari interaksi permintaan dan penawaran agregat.
Permintaan meningkat tajam menjelang perayaan keagamaan, sementara pasokan terganggu akibat cuaca dan distribusi. Kombinasi ini memicu inflasi yang cukup signifikan. Memahami mekanisme ini penting agar pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang tepat untuk menjaga stabilitas harga dan melindungi daya beli masyarakat.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News