Bencana banjir dan longsor yang melanda berbagai daerah di tiga provinsi, yakni Sumatra Utara, Aceh, dan Sumatra Barat terus menjadi sorotan. Bagaimana tidak, jumlah korban terus bertambah, belum lagi bantuan yang belum menyentuh seluruh korban akibat putusnya akses jalan.
Perubahan cuaca ekstrem yang ditambah dengan kondisi ekologi daerah terdampak yang rusak makin memperparah keadaan. Padahal, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah mengimbau pemerintah daerah (pemda) setempat terkait potensi bencana sejak September lalu.
Dalam keterangan yang dihimpun melalui situs resmi Universitas Gadjah Mada (UGM), efektivitas mitigasi juga terletak pada kesiapan bertindak setelah peringatan yang diberikan BMKG sudah diberikan. Kesiapsiagaan inilah yang dapat menentukan dampak bencana.
Mantan Kepala BMKG, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., dalam keterangannya di UGM mengatakan bahwa peringatan yang diberikan BMKG seharusnya selalu diikuti dengan respons dini. Sistem informasi yang kuat harus diimbangi dengan respons operasional yang bergerak cepat di tingkat daerah.
Ada beberapa hal dasar yang dapat segera dilakukan setelah adanya peringatan itu, seperti pemeriksaan tanggul, pengerukan sungai, pembersihan drainase, dan kesiapan alat dasar. Sayangnya, komunikasi kebencanaan semancam ini, utamanya di tingkat masyarakat masih belum optimal.
“Istilah siaga sering tidak dipahami masyarakat sehingga responsnya tidak muncul pada waktu yang dibutuhkan,” katanya.
Apa yang Harus Dilakukan?
Dosen Fakultas Kehutanan UGM, Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU., menekankan bahwa kawasan hulu harus dipulihkan karena merupakan komponen kunci dalam pengurangan risiko jangka panjang. Kerusakan ekosistem menurunkan kapasitas Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam mengembalikan debit saat hujan ekstrem.
Perlu ada upaya rehabilitasi, peningkatan tutupan vegetasi, dan pengendalian perubahan penggunaan lahan yang menjadi prioritas bersama.
“Tanpa pemulihan ekosistem di kawasan hulu, risiko bencana akan tetap berada pada tingkat yang tinggi,” katanya.
Tak hanya itu, perlu ada pemetaan ulang kerentanan bencana agar pemerintah punya dasar kuat untuk penataan ulang ruang dan pemukiman. Satgas bencana akan mengidentifikasi titik-titik aman dan tidak aman berdasarkan kondisi aktual di lapangan. Informasi inilah yang bisa digunakan sebagai rujukan utama saat memutuskan relokasi warga dari lokasi yang berbahaya.
“Jika kerawanannya tinggi, langkah yang paling logis adalah mengurangi eksposurnya melalui relokasi,” imbuh Hatma.
Soal Status Bencana Nasional pada Banjir Sumatra
Masyarakat secara luas mendesak pemerintah agar bencana di Sumatra segera ditetapkan sebagai bencana nasional. Bahkan, di berbagai platform media sosial, seruan masyarakat terus meluas, meminta pemerintah untuk segera mengubah status bencana tersebut.
Pakar Manajemen Bencana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rahmawati Husein, MCP. Ph.D., dalam keterangannya di UMY menjelaskan bahwa penetapan status bencana nasional tidak hanya ditentukan dari besarnya dampak yang ditimbulkan, tetapi juga indikator hukum dan kapasitas pemerintah daerah.
Hal ini disebutnya sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Salah satu indikator untuk mengubah status itu adalah saat daerah sudah tidak lagi mampu untuk menangani dampak bencana.
Rahmawati menilai, saat ini pemerintah menilai struktur pemerintahan di daerah masih berfungsi dengan baik. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bersama dengan pemerintah setempat juga dinilai tidak lumpuh dan masih mampu untuk menjalankan koordinasi serta pelayanan publik.
“Karena pemerintah daerah masih bisa bekerja, status bencana nasional belum diperlukan,” katanya.
Lebih lanjut, ia Dosen Ilmu Pemerintahan ini menegaskan bahwa tidak ditetapkannya status sebagai bencana nasional bukan berarti pemerintah pusat bertindak pasif. Dukungan logistik, sumber daya manusia, sampai teknologi terus dimobilisasi dalam skala besar.
Di sisi lain, mekanisme penetapan status juga disebut Rahmawati tidak sepenuhnya bersifat top-down. Pemerintah daerah bisa mengusulkan penetapan status nasional apabila kapasitas mereka betul-betul tidak mencukupi.
Model kebijakan semacam ini memungkinkan evaluasi dua arah agar penentuan status tidak hanya dipengaruhi pertimbangan politis, tapi juga berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan.
Rahmawati menambahkan, selain dukungan logistik dan personel, koordinasi lintas kementerian juga terus dilakukan lewat rapat rutin yang dipimpin presiden atau kementerian koordinator. Pemerintah memastikan bahwa penanganan mencakup respons cepat dan rencana pemulihan jangka panjang.
Kementerian Keuangan pun menyatakan komitmen untuk menyediakan anggaran Rp2 triliun untuk membantu korban banjir. Terakhir, Rahmawati mengatakan jika strategi pemerintah saat ini berorientasi pada kolaborasi seluruh sektor, termasuk kluster kesehatan, logistik, perlindungan sosial, dan pemulihan infrastruktur. Prinsip no one left behind juga menjadi komitmen untuk memastikan seluruh kelompok terdampak dapat menerima bantuan yang layak.
“Pada dasarnya, yang membedakan hanya status administratif. Karena dari sisi dukungan, pemerintah pusat sudah mengerahkan sumber daya maksimal untuk membantu daerah,” katanya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News