Kemajuan suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari kemampuannya dalam berinovasi. Inovasi menjadi penggerak utama dalam menghadapi tantangan global, meningkatkan daya saing, dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, potensi untuk menjadi bangsa yang inovatif sesungguhnya sangat besar, didukung oleh kekayaan sumber daya alam dan keragaman hayati yang tak ternilai. Namun, potensi ini akan menjadi sia-sia tanpa adanya sumber daya manusia yang mampu mengembangkannya.
Prof Dr Antonius Suwanto, MSc, Guru Besar Mikrobiologi dan Bioteknologi Molekuler menegaskan, "Perkembangan suatu negara, itu sangat tergantung dari inovatornya." Pernyataan ini menjadi fondasi dalam memahami urgensi pembinaan generasi muda yang memiliki kapasitas ilmiah yang kuat.
Namun, menjadi inovator bukanlah proses yang instan. Dibutuhkan suatu proses regenerasi yang berkelanjutan dan terencana. "Nah, inovator ini itu tidak bisa kemudian itu tidak ada, apalagi juga tidak ada regenerasi. Jadi regenerasi itu menjadi sangat penting," kata Prof Antonius di Jakarta, Rabu (10/12/2025).
Ia menekankan bahwa Indonesia, dengan keragaman hayati yang sangat tinggi, seharusnya mampu menggali dan mengembangkan potensinya sendiri. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan ilmuwan-ilmuwan muda yang dibina sejak dini untuk memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan kemampuan metodologis yang mumpuni.
Tanpa regenerasi yang sehat, temuan-temuan besar hanya akan berhenti pada satu generasi, tanpa ada kelanjutan yang dapat membawa bangsa ini melompat lebih jauh.
Tantangan Ekosistem Sains di Indonesia
Membangun generasi muda berbasis sains tidak dapat dilakukan dalam ruang hampa. Ia membutuhkan ekosistem pendukung yang komprehensif. Prof Antonius menggarisbawahi bahwa tantangan di Indonesia tidak hanya terletak pada masalah pendanaan.
"Makanya ini bukan cuma masalah urusan biaya ya, dalam hal ini pendanaan dan sebagainya, tetapi juga sarana laboratorium ataupun sarana-sarana yang memungkinkan dia melakukan eksplorasi," ujarnya.
Akses terhadap fasilitas penelitian yang memadai menjadi prasyarat bagi para calon ilmuwan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ilmiah yang mereka ajukan.
Lebih dari itu, ekosistem yang baik juga melibatkan dukungan dari lingkungan sosial. Prof Antonius memberikan analogi sederhana namun mendalam mengenai pentingnya pertanyaan. "Jadi misalnya seperti kita lihat hukum gravitasi. Itu kan juga sangat penting dari pengamatan Newton pada waktu dia duduk di bawah pohon apel. Ya, kenapa apelnya jatuh kok ke bawah?"
Ia melanjutkan, seringkali masyarakat sekitar justru mematikan rasa ingin tahu dengan respons seperti, "Ngapain kamu nanyain apel jatuh ke bawah? Ya, jatuh ya pasti ke bawah sudah, enggak usah ditanya lagi."
Padahal, dari pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti itulah penemuan besar bermula. Oleh karena itu, ekosistem yang sehat harus mampu melindungi dan merangsang rasa ingin tahu, bukan mematikannya.
Ekosistem sains, menurut Prof Antonius, adalah sebuah jaringan yang kompleks dan saling terhubung. "Ekosistem yang baik itu sebetulnya seperti ya kayak penemuan ini itu ada segala macam orang di situ. Bukan cuma akademinya aja, cuma dosen sama mahasiswa, tapi di situ harus ada administratif, mungkin ada baby sitter, kemudian penjual makanan dan sebagainya. Itu suatu ekosistem. Dan semua itu harus mendukung baik di dalamnya."
Artinya, membangun budaya sains yang kuat memerlukan kolaborasi dan kontribusi dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan intelektual.
Pelatihan dan Pembinaan bagi Peneliti
Salah satu upaya konkret untuk menjembatani kesenjangan dalam ekosistem sains adalah melalui program pelatihan dan pembinaan yang terstruktur bagi peneliti muda. Prof Antonius mencontohkan Nutrifood Research Center (NRC).
"Nah, salah satunya sebetulnya yang berusaha menjembatani itu adalah bagaimana bisa memberikan training pada penelitian-penelitian yang dilakukan oleh sekelompok peneliti muda. Nah, itu dilakukan oleh NRC ini," jelasnya.
Program semacam ini fokus pada pembinaan metodologi penelitian, memastikan bahwa para peneliti muda dapat merancang studi yang valid dan robust untuk menangkap jawaban atas pertanyaan ilmiah mereka.
Program pembinaan yang berkelanjutan telah berlangsung selama beberapa waktu dan melibatkan berbagai pakar, seperti Prof. Megi, untuk mengembangkan potensi ilmuwan muda dari berbagai penjuru Nusantara, bahkan sejak mereka berada di tingkat sarjana (S1).
Dengan menyediakan akses kepada laboratorium yang canggih dan pendampingan ahli, program ini secara langsung mengatasi salah satu tantangan utama, yaitu keterbatasan sarana prasarana.
Inisiatif Kolaborasi dari Dunia Industri
Komitmen untuk membangun generasi muda berbasis sains juga datang dari sektor industri. Felicia Kartawidjajaputra, SSi, MSc, Health and Nutrition Science Manager of Nutrifood Research Center, menyampaikan bahwa inovasi berkelanjutan harus dilandasi pendekatan saintifik dan penguatan SDM.
"Inovasi yang berkelanjutan itu tidak lepas dari peran pendekatan saintifik dan juga penguatan sumber daya manusia terutama generasi muda nih karena kalian memegang ujung tombak untuk pembangunan di masa depan," ungkap Felicia.
Untuk mewujudkannya, NRC menghadirkan tiga inisiatif utama, yakni NRC Fellowship, NRC Student Bootcamp, dan NRC Buddies.
“Nah, jadi dari inisiatif-inisiatif ini kita tuh berharap para generasi muda ini bisa berkembang, kemudian menjadi penguat untuk komunitas berbasis sains dan akhirnya pasti akan berdampak positif pada masyarakat Indonesia secara keseluruhan," harap Felicia. Inisiatif ini sejalan dengan misi untuk menginspirasi hidup sehat sekaligus membangun pipeline talenta sains nasional.
Riset Penting untuk Menangkal Hoaks
Devika, perwakilan peneliti muda penerima Fellowship NRC dari Universitas Muhammadiyah Semarang, menekankan pentingnya riset sebagai fondasi pengetahuan yang andal.
"Riset itu bagi saya penting karena dari riset kita jadi bisa melihat secara sains, secara penelitian yang sudah berjalan. Jadi, tidak yang katanya konon tidak hanya yang berlaku di masyarakat. Tapi faktanya menurut sains, menurut data," jelas Devika.
Di era informasi yang dipenuhi hoaks, peran riset dan peneliti muda menjadi semakin krusial. "Jadi sudah tidak ada sekarang Gen Z, Gen Z sudah tidak konon dan katanya tapi melihat faktanya dan buktinya apa. Jadi riset itu penting untuk membantu masyarakat untuk melihat bukti nyata secara sains," tegasnya.
Dengan demikian, mencetak lebih banyak peneliti muda tidak hanya untuk kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi juga untuk membangun ketahanan masyarakat terhadap misinformasi, khususnya di bidang kesehatan.
"Apalagi makin banyak tadi, justru peneliti-peneliti muda yang harus melakukan riset gitu ya supaya makin banyak bukti-bukti yang ada dan tidak tertipu dengan hoax-hoax yang beredar di masyarakat," tutup Devika.
Mencetak pemuda berbasis sains di Indonesia adalah sebuah keniscayaan dan investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa. Proses ini membutuhkan komitmen bersama dari akademisi, industri, pemerintah, dan masyarakat untuk membangun ekosistem yang mendukung, menyediakan akses terhadap sarana yang memadai, dan yang terpenting, melindungi serta merayakan rasa ingin tahu.
Seperti yang disampaikan Prof Antonius mengutip Eleanor Roosevelt, "The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams." Masa depan Indonesia yang inovatif dan sejahtera berada di tangan generasi muda yang percaya pada impian mereka dan dibekali dengan kemampuan saintifik untuk mewujudkannya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News