Gotong royong bukanlah pemandangan yang asing dalam konteks budaya Nusantara, mulai dari Sambatan di Yogyakarta, Ngayah di Bali, hingga Mapalus di Minahasa. Hal ini membuktikan kuatnya nilai tolong-menolong dalam khasanah sosial kemasyarakatan di Indonesia.
Salah satu falsafah perihal gotong royong juga datang dari masyarakat Suku Mandar dengan konsep Sibaliparriq. Nilai ini menjunjung tinggi kerja sama untuk menyelesaikan tantangan yang sedang dihadapi oleh seseorang maupun masyarakat.
Namun, Sibaliparriq bukan hanya sekadar bahu-membahu tanpa pamrih, melainkan juga upaya bersama untuk menciptakan kehidupan yang lebih harmonis dan berkelanjutan pada masa yang akan datang. Lalu apa sih, yang dimaksud Sibaliparriq? Bagaimana kontekstualisasi falsafah hidup ini ke dalam kehidupan bermasyarakat Suku Mandar? Selamat Membaca!
Makna Falsafah Hidup Sibaliparriq
Menurut JurnalSosiologia,Sibaliparriq berasal dari tiga kata, yaitu Si berarti melawan, Bali yang bermakna musuh, dan Parri’ yang diartikan sebagai kesulitan atau kesedihan. Jika digabungkan menjadi satu kata utuh, Sibaliparriq dapat dimaknai sebagai usaha kolektif (gotong royong) untuk melewati suka dan duka bersama atas dasar ikatan batin.
Nilai yang mendasari Sibaliparriq adalah Siaya Sanyangi (saling menyayangi) tanpa memandang status, pangkat, kelas sosial, suku, hingga agama, sehingga falsafah hidup ini bersifat universal tanpa terhalangi oleh sekat apa pun.
Siapa pun yang sedang menghadapi tantangan dan membutuhkan bantuan, maka atas dasar ikatan nilai Sibaliparriq, masyarakat akan membantu tanpa harapan imbalan, bahkan bantuan yang diberikan tidak ditekankan pada hal-hal materialistik, melainkan juga berupa tenaga dan waktu yang dimiliki untuk meringankan kesulitan orang lain.
Selain itu, Sibaliparriq juga dapat dimaknai sebagai upaya bersama untuk menjaga martabat dan eksistensi budaya dengan memelihara nilai-nilai leluhur dan menjaga tingkah laku di mana pun bumi di pijak, termasuk kewajiban untuk melestarikan lingkungan hidup, agar dapat dirasakan oleh generasi berikutnya. Falsafah inilah yang akhirnya menjadi fondasi keharmonisan sosial bagi masyarakat Suku Mandar.
Penerapan Falsafah Sibaliparriq dalam Kehidupan Suku Mandar
Saat menyaksikan salah satu video di kanal YouTube KompasTV, Kawan tidak akan menyangka, di siang hari yang terik, ratusan masyarakat Polewali Mandar, Sulawesi Barat, berjibaku memindahkan sebuah rumah panggung yang berjarak sekitar 10 meter dari posisi awal. Rumah yang besar dengan strukturnya yang kompleks berhasil berpindah posisi tanpa sedikit pun mengalami perubahan.
Tidak ada upah yang diberikan. Tidak ada undangan resmi yang diberikan dari jauh-jauh hari. Saat pemilik rumah membutuhkan bantuan, cukup dengan pengeras suara di tempat ibadah setempat, masyarakat akan berbondong-bondong mendatangi rumah tersebut dan memindahkannya dengan sukarela. Pemandangan seperti ini menjadi bagian dari keseharian masyarakat Suku Mandar yang terbiasa bergotong royong untuk menyelesaikan masalah di dalam masyarakat.
Bukan sekadar urusan angkat-mengangkat rumah, tetapi segala aspek kehidupan juga tidak luput dari implementasi falsafah Sibaliparriq. Misalnya, saat kapal-kapal nelayan baru saja selesai dibuat, tanpa menunggu waktu lama, puluhan bahkan ratusan masyarakat akan bekerja sama untuk mendorong kapal tersebut menuju laut.
Tidak hanya itu, Kawan juga bisa menjumpai penerapan falsafah hidup ini dalam acara hajatan dan upacara kebudayaan, di mana masyarakat berkumpul dan menyatukan usaha bersama untuk menyukseskan kegiatan.
Namun, yang paling terpenting dari aktualisasi falsafah Sibaliparriq di dalam kehidupan masyarakat adalah pembagian peran suami dan istri dalam keluarga sebagai perwujudan dari menghadapi suka dan duka dalam ikatan batin yang lebih dekat.
Falsafah Sibaliparriq: Keadilan Peran dalam Keluarga
Falsafah Sibaliparriq tidak hanya sekadar gotong royong dalam lingkup masyarakat, melainkan juga dalam unit sosial terkecil, yaitu keluarga. Bagi Suku Mandar, suami dan istri perlu saling berbagi peran dalam keluarga agar dapat berjalan harmonis.
Diungkapkan dalam JurnalSosiologia, Laki-laki Suku Mandar yang biasanya berprofesi sebagai nelayan akan bepergian selama beberapa waktu. Saat mencari nafkah inilah, perempuan-perempuan mandar akan setia mengisi waktu dengan menenun lipa sabbe’ (sarung sutra) yang kelak hasilnya akan diperjualbelikan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama.
Sehingga bukanlah hal yang tabu jika perempuan juga membantu suami untuk menafkahi keluarga karena menganggapnya sebagai tanggung jawab bersama. Saat di rumah pun, suami tidak akan segan untuk membantu sang istri dengan melakukan pekerjaan rumah, misalnya memasak, membersihkan rumah, hingga mengurusi anak-anaknya.
Hal ini menggambarkan bagaimana falsafah Sibaliparriq mampu tertanam di dalam jiwa Suku Mandar hingga dalam aspek kehidupan sehari-hari. Nilainya yang positif mampu meningkatkan keharmonisan tidak hanya bagi masyarakat luas, melainkan juga keluarga. Dengan adanya pembagian peran yang setara, falsafah Sibaliparriq menjadi wujud nyata bagaimana keadilan gender dapat tumbuh dari nilai-nilai tradisional yang telah berlangsung ratusan hingga ribuan tahun.
Dengan demikian, penjelasan singkat tentang falsafah hidup Sibaliparriq bagi masyarakat Suku Mandar tentang gotong royong dan solidaritas. Dari falsafah ini, semoga kita belajar untuk meningkatkan kerja-kerja kolektif, tidak hanya pada hal-hal sederhana, melainkan juga isu-isu kompleks yang terjadi di negara kita. Selamat menyelami kehidupan!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News