Suku Minangkabau berasal dari Sumatera Barat, Indonesia. Berdasarkan asal-usulnya suku Minangkabau adalah keturunan bangsa Astonesia yang datang ke daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat dalam dua tahap.
Bangsa Astonesia yang datang pada tahap pertama dikenal dengan Proto Melayu, sedangkan yang datang pada tahap kedua dikenal dengan Deutro Melayu.
Kebudayaan Minangkabau didirikan oleh dua orang Datuk, yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Pada masa awal pembentukan kebudayaan Minangkabau hanya ada dua suku atau marga yaitu suku Koto Piliang dan suku Bodi Chaniago.
Menurut masyarakat Minangkabau sendiri, mereka percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari puncak gunung Merapi, Sumatera Barat.
Seiring berjalannya waktu, kebudayaan Minangkabau mulai berkembang.
Salah satu contoh kebudayaan yang menarik dari suku Minangkabau yaitu adanya kota-kota atau nagari-nagari kecil yang memiliki wilayah otonom dan pemerintahan berdaulat yang dipimpin oleh seorang Datuak.
Hal ini menunjukkan bahwa suku Minangkabau sudah menerapkan konsep demokrasi sejak lama dalam berpolitik. Dalam aspek agama, mayoritas suku Minangkabau beragama Islam.
Salah satu pepatah yang terkenal di Minangkabau yaitu "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah" yang artinya bahwa adat harus sesuai dengan ketentuan Al-quran.
Keunikan lainnya pada kebudayaan suku Minangkabau yaitu sistem kekerabatan mereka yang mengikuti garis keturunan ibu. Kebudayaan matrilineal ini hanya dianut oleh lima suku di seluruh dunia, salah satunya adalah suku Minangkabau.
Kebudayaan matrilineal di Minangkabau dimulai saat kepemimpinan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabantang. Waktu itu panglima Adityawarman dari kerajaan Majapahit berniat ingin menyerang kerajaan Minangkabau.
Namun, karena kerajaan Minangkabau tidak menyukai peperangan maka disambutlah kedatangan panglima Adityawarman dengan keramah-tamahan.
Agar perang dapat terhindari utusan dari istana Pagaruyung berniat agar panglima Adityawarman dipinangkan dengan putri Jamilah.
Panglima Adityawarman pun awalnya terkejut dan kemudian menerima tawaran tersebut, agar keturunan dari putri Jamilah tetap menjadi orang Minangkabau dan bisa mendapatkan warisan kerajaan Minangkabau, maka Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang menetapkan adat Batali Bacambua yang mengubah sistem kekerabatan suku Minangkabau menjadi matrilineal.
Matrilineal dalam suku Minangkabau sangat meninggikan derajat perempuan, suku Minangkabau percaya berdasarkan kodrat alamiah, mengandung, melahirkan, dan mendidik anak adalah peran seorang ibu. Seorang perempuan terhormat di Minangkabau dikenal sebagai Bundo Kandunag.
Saat para laki-laki banyak beraktivitas di luar rumah, para perempuan menjaga rumah, sehingga mereka sering disebut sebagai Limpapeh Rumah Gadang. Jika berbicara soal warisan, pihak perempuan mendapatkan lebih banyak dari pada laki-laki.
Selain itu, di Minangkabau perempuan lah yang melamar laki-laki dengan mengantarkan sejumlah uang yang telah disepakati, yang biasa disebut sebagai pitih japuik.
Kebudayaan matrilineal Minangkabau juga menganjurkan pernikahan eksogami, pernikahan perempuan di luar suku Minangkabau tidak disukai karena keturanannya nanti tidak akan memiliki suku.
Dapat kita simpulkan bahwa sistem matrilineal adalah sistem kekerabatan yang mengikuti garis keturunan ibu. Walaupun kebudayaan matrilineal di Minangkabau sudah berlangsung sejak lama, namun kebudayaannya masih tetap lestari hingga saat ini.
Matrilineal di Minangkabau sangat memprioritaskan peran perempuan, bahkan kelahiran anak perempuan disambut baik karena akan menjadi penerus garis keturunannya.
Selagi masyarakat Minangkabau menganut dan melestarikan sistem matrilineal yang langka ini, serta masih ada kaum ibu yang mempertahankan kodratnya, maka tidak perlu adanya ketakutan akan bergesernya sistem matrilineal oleh budaya patriarki.
Sumber Referensi:
- Dutadamaisumaterabarat.id
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News