Malam itu, dinginnya udara terasa cukup menusuk. Meski begitu, tetap tidak menyurutkan semangat warga untuk berkumpul di perempatan yang berada tepat di tengah dukuh.
Bertepatan dengan malam Jumat Kliwon pada Bulan Suro, warga Dukuh Gempol di Desa Sukorejo berduyun-duyun duduk mengelilingi jantung dukuh tersebut untuk melaksanakan Bersih Desa (atau biasa dikenal pula dengan Bangun Desa).
Kali ini, Tim KKN-PPM Unit Sambirejo berkesempatan untuk mengikuti prosesi kegiatan Bangun Desa ini dari awal hingga akhir acara. Yuk, simak cerita kami!
Menggali Makna Bersih Desa
Bersih desa merupakan acara yang rutin dilakukan oleh warga Dukuh Gempol, RT 02, Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Sragen. Acara ini menjadi tradisi turun-temurun dalam kebudayaan warga setempat.
Menurut Bapak Suroso selaku ketua RT 02, Bersih Desa merupakan upacara adat Jawa yang bertujuan untuk menghormati leluhur yang telah babat desa (membangun desa dari awal hingga menjadi maju seperti sekarang) dan meminta kepada yang kuasa untuk memeproleh kesehatan, rezeki yang melimpah, serta dijauhkan dari penyakit.
βNek mboten bangun desa, desane niku lho Mbak, dadino sing kerso deso niki terus wegah. Monggo bersih desa, bangun desa, supaya desa niki tentrem, aman. Saestu aman tenan Mbak,β tutur Mbah Giyo ketika kami temui di kediamannya pada Rabu (17/6/2024).
Mbah Giyo merupakan tetua desa sekaligus perwakilan untuk melaksanakan ritual puncak Bersih Desa. Beliau menuturkan pula, adanya Bersih Desa akan menghindarkan desa dari ala-ala (keburukan) dari luar.
Mengurai Tahapan Bersih Desa: Ritual Untuk 'Membersihkan' Desa
Ritual Bersih Desa | Sumber: Dokumentasi Pribadi/Azan Anugrah Vanga
Bersih Desa terdiri dari serangkaian acara yang dimulai pada tengah hari. Prosesi dimulai dengan penyembelihan wedhus kendit (kambing berwarna gelap dengan corak putih di bagian tengah badan kambing) dan pitik tulak (ayam kampung yang memiliki ciri khas bulu berwarna putih dengan bulu hitam di punggungnya).
Kedua hewan tersebut disimbolkan sebagai tumbal untuk menolak bala. Daging keduanya kemudian dimasak secara bersamaan dan dibagikan ke seluruh warga dukuh pada upacara puncak.
Sementara itu, keempat kaki, semua tulang, dan kepala kambing tersebut disimpan untuk pelasanaan upacara puncak pula.
Acara puncak bersih desa dilaksanakan tepat ketika jarum panjang dan pendek pada jam menunjuk pada angka 12. Warga berkumpul mengelilingi pusat Gempol, duduk dengan takzim.
Ritual dimulai dengan pembacaan doa. Kepala wedhus kendhit yang telah terpenggal dari tubuhnya dikubur tepat di tengah dukuh.
Sementara itu, empat kaki dan sisa tulang kambing dikubur di pojok-pojok dukuh, seakan-akan membangun pagar mengelilingi lokasi tersebut untuk mencegah keburukan dan kejelekan dari luar.
Tugas tetua desa adalah melakukan ritual penguburan yang diiringi dengan pembacaan doa dan penyiraman air kembang. Selama pelaksanaan ritual ini, tetua desa berada dalam kondisi setengah telanjang.
Menurut informasi yang kami peroleh dari Mbah Giyo, Bersih Desa biasanya dilakukan tiap tahun pada Bulan Suro. Namun, karena prosesinya yang memakan biaya cukup besar, upacara ini dapat dilakukan secara rutin tiap tiga atau delapan tahun sekali.
Mewariskan Nilai-Nilai Luhur dari Bersih Desa
Bersih Desa mengajarkan pada kami arti kekeluargaan yang sesungguhnya. Upacara ini menyatukan warga untuk bergotong-royong demi kebaikan tempat tinggal mereka.
Melalui prosesi ini, kami diingatkan untuk menjaga budaya para leluhur dan senantiasa mendoakan mereka.
"Kita harus tahu Mbak, kita dikasih lahan kayak gini kalau nggak ada perjuangan para leluhur βkan nggak bisa. Kita harus selalu menghormati, tidak cuma mendoakan saja. Mudah-mudahan selalu ada penerusnya," pesan Pak Suroso yang akan selalu kami ingat.
Penulis: Anisa Nur Rahmalina
Fotografer: Azan Anugrah Vanga
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News