Guling, atau yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah "bolster," adalah salah satu peralatan tidur yang sangat akrab di kalangan masyarakat Indonesia. Bukan sekadar bantal pelengkap, guling memiliki sejarah panjang yang menarik, bahkan menyentuh aspek budaya, kolonialisme, dan identitas nasional.
Asal Usul Guling: Dari Hindia Belanda hingga 'Dutch Wife'
Guling pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada masa kolonial Belanda. Kedatangan bangsa Eropa ke Hindia Belanda membawa banyak perubahan, termasuk dalam hal peralatan rumah tangga.
Seperti yang dijelaskan oleh Soekiman dalam bukunya, permukiman awal Belanda di Hindia Belanda meniru tata ruang di negeri asal mereka, dengan bangunan berpusat di dalam benteng. Namun, keberadaan guling atau 'Dutch Wife' menjadi salah satu adaptasi unik di tengah kehidupan kolonial.
Istilah 'Dutch Wife' diberikan oleh Letnan Gubernur Jenderal Inggris, Thomas Stamford Raffles, sebagai sindiran terhadap kebiasaan orang Belanda yang menggunakan guling sebagai pengganti perempuan di tempat tidur mereka.
Kebiasaan ini muncul karena banyak pejabat dan prajurit Belanda yang tidak bisa membawa istri mereka ke Hindia Belanda akibat biaya dan waktu perjalanan yang tinggi. Alhasil, mereka menggunakan guling sebagai teman tidur yang dianggap dapat mengobati rasa rindu terhadap pasangan yang jauh.
Guling sebagai 'Dutch Wife': Pengganti Gundik
Pada masa kolonial, masyarakat Belanda yang tinggal di Hindia menghadapi tantangan besar terkait kebutuhan biologis mereka, terutama karena larangan membawa perempuan dari Belanda. Banyak dari mereka yang kemudian memilih untuk mengambil perempuan pribumi sebagai gundik, atau menggunakan jasa pekerja seks komersial.
Namun, bagi mereka yang ingin berhemat, guling menjadi pilihan praktis yang jauh lebih murah dibandingkan gundik.
Dalam bukunya Seabad Grand Hotel Preanger 1897-1997, Haryoto Kunto dan Deddy H. Pakpahan menjelaskan bahwa guling sering digunakan oleh para prajurit atau pejabat Belanda untuk berfantasi seolah-olah mereka memeluk pasangan mereka.
Oleh karena itu, guling tidak hanya berfungsi sebagai alat tidur, tetapi juga sebagai simbol pelipur lara di kala kesepian jauh dari tanah air.
Guling dalam Perspektif Budaya dan Identitas Nasional
Tidak hanya sebagai alat tidur, guling juga mendapat perhatian khusus dari tokoh-tokoh penting Indonesia. Presiden pertama Indonesia, Sukarno, dalam biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, menyebut guling sebagai salah satu simbol identitas nasional Indonesia.
Menurut Sukarno, guling mencerminkan jiwa bangsa Indonesia yang hidup dengan perasaan dan kedekatan emosional, berbeda dengan bangsa lain yang mungkin tidak memiliki budaya tidur dengan guling.
Sukarno menggambarkan guling sebagai sebuah benda yang hanya ada di Indonesia, sesuatu yang unik dan membedakan bangsa Indonesia dari bangsa lain. Pernyataan ini menunjukkan betapa guling telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, sekaligus simbol dari keunikan dan kebanggaan nasional.
Guling di Negara Lain: Zhufuren, Jukbuin, dan Chikufujin
Meskipun guling dianggap sebagai bagian dari identitas budaya Indonesia, ternyata konsep serupa juga ditemukan di negara lain. Di Cina, guling dikenal sebagai 'zhufuren,' di Korea disebut 'jukbuin,' dan di Jepang disebut 'chikufujin.'
Namun, guling di negara-negara ini memiliki bentuk dan fungsi yang sedikit berbeda. Guling di Asia Timur umumnya terbuat dari anyaman bambu dengan rongga di dalamnya, yang bertujuan untuk memberikan sirkulasi udara lebih baik di iklim tropis.
Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk kenyamanan saat tidur adalah sesuatu yang universal, meskipun cara pemenuhannya berbeda di tiap budaya. Namun, guling yang dikenal di Indonesia, dengan bahan dasar kapuk dan bentuk yang memanjang, tetap memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh 'bamboo wife' dari Asia Timur.
Guling: Dari Masa Lalu hingga Masa Kini
Dari sekadar pengganti pasangan bagi para prajurit Belanda hingga menjadi simbol identitas bangsa, guling telah melalui perjalanan panjang dalam sejarahnya. Kehadirannya tidak hanya sebatas fungsi praktis sebagai pelengkap tidur, tetapi juga memiliki makna mendalam bagi mereka yang menggunakannya.
Dalam perjalanan sejarahnya, guling menjadi saksi bisu dari berbagai peristiwa sosial dan budaya yang terjadi di Hindia Belanda hingga Indonesia merdeka.
Saat ini, guling tetap menjadi teman setia di malam hari bagi banyak orang, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya. Kehadirannya dalam kamar tidur kita adalah warisan sejarah yang terus berlanjut, mengingatkan kita pada bagaimana benda sederhana dapat memiliki cerita yang begitu kaya dan kompleks.
Guling bukan sekadar bantal pelengkap, tetapi juga sebuah artefak budaya yang menggambarkan adaptasi, kreativitas, dan identitas. Dari sejarah panjangnya, kita belajar bahwa benda-benda sehari-hari yang tampak sepele bisa menyimpan kisah yang luar biasa, menghubungkan kita dengan masa lalu sekaligus memperkaya budaya kita di masa kini.
Sumber:
- https://hima.fib.ugm.ac.id/teman-para-bujangan-belanda-dutch-wife/
- https://voi.id/en/memori/7100
- https://steemit.com/busy/@ghaisan/the-story-of-a-guling-origin
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News