pemain diaspora strategi unik ala pssi - News | Good News From Indonesia 2024

Pemain Diaspora, Strategi Unik ala PSSI

Pemain Diaspora, Strategi Unik ala PSSI
images info

Pemain Diaspora, Strategi Unik ala PSSI


Bicara soal pembinaan pemain dalam sepak bola, biasanya, ini adalah satu proses panjang. Di negara-negara raksasa sepak bola seperti Brasil dan Argentina, pembinaan pemain bahkan sudah dimulai sejak usia sekolah dasar. 

Idealnya, ini adalah satu rangkaian sistem, dengan kompetisi liga dan tim nasional sebagai muaranya. Masalahnya, sistem seperti ini masih belum berjalan secara runtut dan baku di Indonesia.

Akibatnya, meski selalu punya talenta lokal berpotensi menarik di tiap generasi, jarang ada pemain yang benar-benar "mekar" di usia matang, karena kebanyakan sudah berhenti berkembang saat masih jadi bakat mentah.

baca juga

Terlepas dari beragam masalah seperti cedera, mentalitas "jago kandang" atau perkara disipliner yang biasa muncul, sistem pembinaan pemain muda, yang sering terlupakan di Indonesia, telah menghasilkan tim nasional, yang justru cukup sukses membuat publik sepak bola nasional terbiasa dibuat kecewa, terutama di level Asia Tenggara, dan tak berani bermimpi di level lebih tinggi.

Ketika masalah ini diidentifikasi PSSI era Erick Thohir, upaya merintis sistem pembinaan pemain muda pun kembali dihidupkan. Upaya ini semakin mendapat angin segar, karena Presiden Prabowo Subianto turut merintis Garudayaksa Football Academy, sebagai bagian dari upaya mengejar mimpi membawa Timnas Indonesia lolos ke Piala Dunia.

GFA yang dirintis pada tahun 2023, atau saat sang Presiden masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan, menjadi satu dari beberapa upaya membina potensi bakat lokal di Indonesia, selain mengadakan kompetisi usia muda atau mengikuti turnamen tingkat junior internasional, seperti Piala Danone.

Namun, pembinaan pemain muda dari bawah, adalah satu proses yang butuh waktu lama untuk berbuah. Untuk mencetak satu generasi pemain yang cukup matang secara teknis dan mental, dibutuhkan waktu sekitar 10-15 tahun.

Itu baru proses pembinaan di satu generasi. Tingkat kesulitannya akan semakin rumit dan butuh waktu lebih lama, jika ingin mencetak pemain bintang atau generasi emas. 

Negara sekelas Brasil saja butuh waktu sampai puluhan tahun, untuk menemukan bintang juara Piala Dunia seperti Ronaldo, Ronaldinho, dan Cafu. Sebelumnya, Tim Samba sempat puasa gelar Piala Dunia, setelah generasi legendaris Pele dkk juara Piala Dunia 1970.

Masih di Amerika Selatan, Argentina juga butuh waktu puluhan tahun selepas generasi Diego Maradona merengkuh trofi Piala Dunia 1986. Penantian ini baru berakhir di Piala Dunia 2022, saat Lionel Messi menginspirasi Tim Tango juara di Qatar.

Kasus di Timnas Brasil dan Argentina adalah satu potret proses panjang, dalam perspektif ideal. Masalahnya, proses ideal itu tidak pernah benar-benar bisa berjalan di Indonesia.

Penyebabnya bukan karena tidak ada talenta lokal yang bisa diolah. Ini adalah efek samping ekspektasi tinggi, yang pada titik tertentu cenderung berlebihan. 

baca juga

Alhasil, ekspektasi sangat tinggi itu sudah ada, bahkan sejak prediksi pertandingan. Apa boleh buat, tingkat kesabaran yang ada menjadi jauh lebih tipis, bahkan dari selembar tisu dibagi sepuluh. 

Maka, tidak mengejutkan ketika PSSI belakangan rajin mendatangkan pemain diaspora Indonesia (sebagian besar berasal dari diaspora Indonesia di Belanda) ke tim nasional, baik di level senior maupun junior, juga di tim sepak bola putri. Meski terbalik dibandingkan cara idealnya, langkah unik ini logis dan cukup bisa dimengerti. 

Kebetulan, Erick Thohir, ketua umum PSSI kali ini, adalah orang yang pernah menjadi pemilik klub Inter Milan (Italia). Jadi, ia punya level wawasan sepak bola yang dibutuhkan di tingkat nasional, termasuk dalam memahami tren keberadaan pemain diaspora di tim nasional. Fenomena ini sebetulnya sudah menjadi fenomena global, khususnya di era kekinian.

Dengan pendekatan unik ini, ada satu pembelajaran berharga, yang seharusnya bisa diterapkan di sepak bola nasional. Perbedaan standar kualitas yang ada masih cukup jauh, dan keberadaan pemain diaspora bisa menjadi solusi, setidaknya untuk sementara. 

Masih ada banyak hal mendasar yang perlu diperbaiki di dalam negeri, karena untuk bisa bersaing (atau minimal tak jadi bulan-bulanan) di level Asia, apalagi dunia, dibutuhkan standar kualitas yang cukup tinggi. Untuk saat ini, standar itu masih belum ada di level nasional, dan perlu digarap serius. 

Kalau aspek seperti menu makan dan teknik dasar mengoper bola saja masih serba belepotan, sebaiknya jangan berharap banyak pada aspek tingkat lanjut seperti stamina dan taktik, apalagi soal hasil akhir pertandingan atau target prestasi. 

Jika melihat bagaimana proses dan progres yang ada, strategi unik PSSI ini terlihat cukup menjanjikan. Tim Garuda mulai bisa bersaing di level Asia. Bonusnya, publik sepak bola nasional mulai berani bermimpi, setelah terlalu lama dibuat kecewa.

Dari sini, strategi unik ala PSSI seharusnya bisa mendorong berkembangnya pembinaan pemain muda di dalam negeri. Jadi, potensi bakat mentah yang selama ini rajin muncul, bisa digarap maksimal. 

Ketika gairah itu sudah ada, dengan proses yang mulai berjalan, PSSI juga perlu menyiapkan kualitas sistem pembinaan dan sumber daya pendukung yang memadai, supaya momentum yang ada tak kembali berakhir jadi angin lalu.

Kalau semua sudah siap, biarkan prosesnya berjalan secara alami, dan setelah pemain berkualitas bisa konsisten dihasilkan, pemain diaspora pelan-pelan bisa digeser dari opsi utama menjadi opsi tambahan.

Sampai saat itu tiba, kita cukup melihat, apakah PSSI benar-benar berusaha serius membenahi sistem pembinaan di dalam negeri, atau hanya "kecanduan" mendatangkan pemain diaspora Indonesia dari luar negeri, tanpa melakukan upaya serius dalam pembinaan pemain muda.

Selebihnya, kita nikmati saja kiprah tim yang ada sekarang, karena merekalah generasi awal yang bisa membawa Tim Garuda menapak level Asia, untuk pertama kalinya setelah absen bertahun-tahun.

Kalau ternyata ada lagi kemajuan lain di masa depan, berarti, Timnas Indonesia sudah semakin kuat, setidaknya secara mental, karena sudah bisa mengubah tekanan besar menjadi pelecut semangat tanding. 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

YR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.