Pada pertengahan tahun 1800-an, Batavia pernah memiliki tempat hiburan dan prostitusi ala Las Vegas bernama Ji Lak Keng atau Jilakeng. Kawasan yang tak jauh dari Pasar Pagi Asemka, Jakarta barat ini kerap didatangi orang Belanda dan Tionghoa.
Dinukil dari CNN Indonesia, Ji Lak Keng berasal dari bahasa Hokkian yang artinya 26 bangunan. Nama ini diberikan karena pada saat itu terdapat 26 bangunan yang dijadikan sebagai tempat hiburan, prostitusi, dan madat (candu).
“Mereka berdansa dan ada wanita yang bisa melayani mereka,” jelas Sejarawan Asep Kambali.
Asep menjelaskan dari gedung inilah praktik pelacuran pertama kali muncul di Batavia. Pasalnya tidak hanya bisa menikmati minum-minuman keras. Di tempat ini pengunjung juga bisa menyalurkan hasrat biologisnya.
“Begitu besarnya sehingga sangat terkenal,” ujar Asep.
Oase bagi lelaki
Asep menjelaskan pengelola kawasan tersebut adalah warga Tionghoa yang saat itu menjadi warga kelas dua setelah bangsa Eropa. Orang-orang Tionghoa ketika itu melihat peluang mendapatkan cuan dari bisnis lendir.
Pada saat itu, kawasan pelacuran memang dirasa perlu. Hal ini karena pada pertengahan abad 19, praktik perbudakan mulai ditentang. Para pejabat berduit mulai enggan menggunakan gundik untuk teman tidur bersama.
Di sisi lain, orang Belanda dan Tionghoa yang datang ke Batavia bertujuan untuk perang atau berbisnis. Karena itu mereka tidak bisa membawa istri atau kekasih mereka. Sehingga orang Tionghoa melihat ada peluang bisnis.
Ji Lak Keng menjadi salah satu tujuan utama saat mereka ingin mencari kesenangan dunia. Bangunan ini memiliki dua lantai, lantai pertama digunakan untuk menghisap madat, sedangkan lantai kedua digunakan untuk tempat prostitusi.
Diimpor dari China
Dimuat dari Merdeka, para pemilik rumah bordil ini biasanya mengimpor wanita penghibur dari Tiongkok. Ada pula perempuan peranakan pribumi atau kiau seng. Ketenaran Ji Lak Keng mulai menurun seiring maraknya tempat hiburan yang dibangun.
Kini kawasan ini telah berubah menjadi pemukiman biasa. 26 rumah sudah dialihfungsikan sebagai toko obat, toko kelontong, dan lain-lain. Meskipun demikian, masih ada satu bangunan yang masih mempertahankan gaya arsitektur Tionghoa masa itu.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News