Produk makanan dengan label “gluten-free” semakin populer di kalangan konsumen yang ingin menjalani gaya hidup sehat, termasuk mereka yang mengidap penyakit celiac atau alergi gandum. Namun, apakah semua produk dengan label ini benar-benar bebas gluten? Faktanya, hasil analisis terbaru menunjukkan bahwa tidak selalu begitu.
Salah satu bahan yang mendapat sorot adalah hydrolyzed Wheat Protein (HWP) atau protein gandum terhidrolisis. Bahan ini digunakan secara luas untuk menambahkan rasa dan tekstur makanan.
Namun ironisnya, meski diberi label “gluten-free”, presensi HWP justru malah menjadi ancaman tersembunyi bagi beberapa konsumen
Klaim yang Menyesatkan
Banyak produsen mengklaim bahwa produk mereka bebas gluten, meskipun menggunakan bahan seperti Hydrolyzed Wheat Protein (HWP). Mereka beranggapan bahwa proses hidrolisis telah memecah gluten menjadi fragmen kecil yang tidak lagi berbahaya. Namun, penelitian ilmiah menunjukkan bahwa potongan protein tersebut tetap dapat memicu respons imun yang serius, terutama pada penderita celiac.
Penelitian Galber dan Scherf (2020) dalam jurnal Biomolecules menemukan bahwa kandungan protein kasar dalam HWP hampir sama dengan gluten murni, berkisar antara 649,9 hingga 898,8 mg /g . Kandungan gliadin (fraksi prolamin) <2,3 mg/g hingga 423,1 mg/g, sedangkan glutenin (fraksi glutelin) <4,7 mg/g hingga 162,2 mg/g.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pada kemasannya terdapat tulisan “gluten-free”, namun masih terdapat kandungan fraksi protein gandum yang dapat membahayakan.
Ancaman bagi Penderita Celiac
Bagi penderita celiac, gluten adalah ancaman serius. Konsumsi gluten sekecil 20 ppm saja dapat menyebabkan respon autoimun sehingga dapat mengganggu penyerapan nutrisi penting. Gejalanya bisa berupa diare, nyeri perut, penurunan berat badan, hingga komplikasi jangka panjang seperti osteoporosis atau infertilitas.
Menyadari bahaya itu, FDA di AS sudah melakukan tindakan. Sejak tahun 2020, produk fermentasi dan hidrolisis seperti saus, bir, dan keju yang ingin menggunakan label "gluten-free" harus menyertakan bukti ilmiah serta data bahan baku sebelum proses produksi.
Analisis Pangan © jarmoluk by Pixabay
Peran Analisis Pangan
Kasus ini menyoroti pentingnya analisis pangan lanjutan, terutama untuk produk dengan klaim tertentu. Selama ini, industri makanan umumnya menggunakan metode ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) untuk mendeteksi kandungan gluten. Metode ini bekerja dengan mengenali bagian spesifik dari gluten utuh, khususnya fraksi prolamin seperti gliadin.
Masalahnya, saat gluten mengalami proses seperti hidrolisis atau fermentasi, struktur proteinnya berubah. Akibatnya, antibodi dalam ELISA tidak lagi mampu mengenali fragmen gluten tersebut. Produk pun bisa lolos uji sebagai "gluten-free", padahal sebenarnya masih mengandung potongan gluten yang bisa membahayakan penderita celiac.
Pencapaian peran metode LC–MS/MS (Kromatografi Cair–Spektrometri Massa) menjadi sangat penting. Teknologi ini bekerja jauh lebih presisi yaitu dapat mendeteksi dan mengukur fragmen gluten berdasarkan massa dan struktur molekulnya, bukan hanya bagian tertentu yang dikenal oleh antibodi. Metode ini bahkan bisa sekaligus mendeteksi dua jenis protein utama gluten yaitu prolamin dan glutelin yang selama ini sering luput dari pengujian standar.
Hal ini diperkuat oleh temuan dari yang dimuat dalam Journal of Agricultural and Food Chemistry, yang meneliti berbagai bir berbasis barley. Meskipun bir-bir tersebut lolos uji ELISA dan dilabeli sebagai “gluten-reducing”, LC–MS/MS justru menemukan fragmen gluten berukuran besar (>30 kDa) yang masih bertahan.
Bahkan beberapa produk menunjukkan proses enzimatis yang tidak sempurna. Studi ini membuktikan bahwa metode konvensional bisa menghilangkan risiko tersembunyi yang justru terdeteksi oleh analisis pangan lanjutan
Dengan demikian, analisis pangan tidak bisa lagi dianggap sebagai pelengkap. Ini adalah pertahanan garis terdepan dalam melindungi konsumen dari klaim yang menyesatkan. Di Indonesia sendiri, belum ada regulasi teknis sekuat FDA yang menuntut standar pengujian atau kadar gluten yang aman dalam produk olahan.
Label “gluten-free” seharusnya menjadi jaminan, bukan jebakan. Di tengah makin banyaknya klaim kesehatan di pasar, analisis pangan harus berdiri paling depan untuk menjaga agar setiap klaim pada kemasan benar-benar dapat dipercaya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News