Di sebuah dusun kecil bernama Menua Sadap, yang terletak di jantung Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, hidup seorang perempuan muda bernama Margareta Mala. Di balik raut wajahnya yang sederhana, tersimpan semangat besar untuk melestarikan budaya leluhur, memberdayakan masyarakat, sekaligus menjaga alam. Dari tangan-tangan terampilnya, lahirlah kain tenun bercorak khas Dayak Iban yang bukan hanya indah, tetapi juga mengandung makna, cerita, dan harapan.
Awal Perjalanan
Margareta lahir dan besar di Dusun Sadap, desa yang dikelilingi hutan rimba dan aliran sungai. Seperti kebanyakan anak Dayak Iban, ia tumbuh dalam lingkungan yang kaya dengan tradisi: gawai panen, musik sape, tarian, dan tentu saja tenun. Tenun bagi masyarakat Dayak Iban bukan sekadar kain, tetapi identitas. Setiap motif tenun memuat filosofi, doa, dan kisah leluhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Sejak kecil, Margareta sering melihat para perempuan dewasa duduk berjam-jam di depan alat tenun gedogan, memintal benang, mengikat motif, lalu mewarnai dengan bahan alami dari hutan: daun, akar, kulit kayu. Ia kagum, tetapi juga prihatin. Banyak anak muda seusianya tidak tertarik lagi dengan tenun. Mereka lebih suka mencari pekerjaan di kota atau bahkan keluar negeri sebagai buruh migran. Tenun dianggap terlalu rumit, tidak menjanjikan masa depan.
“Kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi?” begitu batin Margareta.
Keprihatinan itu berubah menjadi tekad. Ia memutuskan untuk menekuni dunia tenun, meski sadar jalan ini penuh tantangan.
Menenun dengan Alam
Margareta tidak hanya belajar teknik menenun dari orang-orang tua di kampungnya. Ia juga tertarik dengan proses pewarnaan alami yang mulai ditinggalkan. Banyak perajin kini beralih ke pewarna sintetis karena lebih cepat, lebih praktis, dan warnanya mencolok. Namun, ia tahu, pewarna kimia meninggalkan limbah yang merusak lingkungan, dan membuat tenun kehilangan keaslian.
Pada tahun 2018, ia bersama teman-teman muda mendirikan Kebun Etnobotani Dusun Sadap. Di kebun itu mereka menanam lebih dari 160 jenis tumbuhan pewarna alami: akar engkerebai yang menghasilkan warna biru, kulit kayu ulin untuk cokelat tua, daun leban untuk kuning, hingga tumbuhan meranti untuk merah. Setiap warna lahir dari hubungan yang dalam dengan alam, dari proses sabar yang bisa memakan waktu berminggu-minggu.
Margareta tahu, pilihan ini tidak populer. Banyak yang menganggapnya tidak realistis. “Siapa yang mau membeli kain mahal dengan warna alam, kalau ada kain sintetis yang lebih cepat dan murah?” begitu kata sebagian orang. Tetapi Margareta percaya: justru di situlah letak nilai. Keaslian dan kelestarian alam adalah kekuatan, bukan kelemahan.
Membangun Komunitas
Perjalanan Margareta tidak ia tempuh sendirian. Ia membentuk komunitas Endo Segadok, beranggotakan para ibu dan remaja perempuan di Dusun Sadap. Mereka belajar bersama, menenun, berbagi motif, dan menjaga tradisi.
Dalam dua tahun, kelompok ini berhasil menjual tenun hingga puluhan juta rupiah. Hasilnya dipakai untuk kebutuhan keluarga, biaya sekolah anak, dan sebagian untuk membeli alat tenun baru. Lebih dari itu, kebanggaan tumbuh kembali. Para perempuan merasa karya mereka dihargai, budaya mereka diakui.
Namun, bukan berarti tanpa hambatan. Akses ke pasar masih terbatas. Jalan dari dusun menuju kota sering rusak, sinyal internet lemah, dan jaringan distribusi nyaris tidak ada. Margareta harus memutar otak: ia mulai memanfaatkan pameran, menghubungi jejaring LSM, bahkan mencoba promosi lewat media sosial meski sinyal sering tersendat.
“Kadang kami harus naik perahu berjam-jam hanya untuk mengantar kain,” katanya dalam sebuah wawancara. “Tapi kalau kita menyerah, maka semua akan hilang.”
Pengakuan dan Penghargaan
Perjuangan itu perlahan membuahkan hasil. Pada tahun 2020, Margareta menerima Tunas Kehati Award dari Yayasan Kehati, sebagai generasi muda pelestari lingkungan. Penghargaan ini bukan hanya pengakuan pribadi, tetapi juga bukti bahwa perjuangan di desa kecil seperti Sadap bisa menggema hingga nasional.
Ia kemudian terpilih sebagai salah satu perempuan inspiratif dalam buku Destinasi Pariwisata Indonesia yang diterbitkan Kemenparekraf tahun 2023. Puncaknya, pada 2024, ia mewakili Kalimantan Barat dalam ajang Pemilihan Pemuda Pelopor Tingkat Nasional, kategori kepeloporan sumber daya alam dan pariwisata.
Kain-kain tenun karya komunitasnya mulai diminati tidak hanya di Kalimantan, tetapi juga Jakarta dan bahkan Malaysia. Beberapa kain dengan motif rumit terjual hingga belasan juta rupiah.
Namun, bagi Margareta, penghargaan dan nilai jual hanyalah bonus. Yang terpenting adalah: budaya tenun tetap hidup, hutan tetap terjaga, dan generasi muda tetap bangga dengan identitasnya.
Konflik: Antara Tradisi dan Modernitas
Kisah Margareta tidak selalu mulus. Ada benturan antara tradisi dan modernitas. Sebagian warga desa menilai lebih baik menanam sawit atau menjual kayu hutan daripada bersusah payah menenun. Beberapa anak muda merasa malu dianggap “kuno” hanya karena menenun.
Selain itu, harga kain tenun yang tinggi justru menimbulkan dilema. Di satu sisi, itu bukti kualitas. Di sisi lain, ada kecemasan: apakah tenun hanya akan dinikmati oleh kalangan elite kota, sementara masyarakat Dayak sendiri sulit membeli hasil budaya mereka?
Margareta mencoba menyeimbangkan. Ia mendorong produk turunan yang lebih terjangkau, seperti syal, selendang, atau tas kecil. Dengan begitu, tenun bisa hadir di lebih banyak kalangan tanpa kehilangan nilai.
Visi Desa Wisata Tenun
Margareta tidak berhenti pada produksi kain. Ia bermimpi menjadikan Menua Sadap sebagai desa wisata tenun. Wisatawan bisa datang langsung melihat proses menenun, belajar tentang pewarna alami, mencicipi makanan lokal, dan menikmati budaya Dayak Iban.
Ide ini disambut positif oleh pemerintah daerah dan Dekranasda. Namun, tentu butuh waktu, infrastruktur, dan dukungan. Baginya, wisata bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga cara memperkenalkan budaya kepada dunia.
“Kalau orang datang dan melihat sendiri, mereka akan lebih menghargai. Mereka akan tahu, kain ini bukan sekadar barang, tetapi warisan.”
Pelajaran Hidup
Dari perjalanan Margareta Mala, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik:
- Menjaga tradisi bukan berarti menolak modernitas. Margareta menggabungkan warisan nenek moyang dengan pendekatan kontemporer: promosi digital, jejaring LSM, dan penghargaan nasional.
- Kesabaran dan ketekunan menghasilkan keindahan. Seperti menenun, hidup pun butuh proses panjang. Setiap ikatan benang adalah simbol kesabaran yang berbuah karya.
- Lingkungan dan budaya saling terkait. Dengan pewarna alami, Margareta menunjukkan bahwa pelestarian alam bisa berjalan seiring dengan pelestarian budaya.
- Kekuatan perempuan desa. Sering dianggap kecil, tetapi justru dari tangan-tangan perempuan desa lahir perubahan besar bagi komunitas.
Inspirasi untuk Generasi Muda
Margareta Mala adalah bukti bahwa inspirasi tidak harus lahir dari kota besar, teknologi canggih, atau modal besar. Inspirasi bisa lahir dari desa terpencil, dari alat tenun sederhana, dari keyakinan seorang perempuan muda yang percaya pada kekuatan tradisi.
Ia memberi teladan bahwa menjaga budaya bukan hanya nostalgia, tetapi juga jalan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Dalam tenunan yang ia hasilkan, benang-benang masa lalu, masa kini, dan masa depan saling terkait.
Seperti kata pepatah Dayak Iban: “Ngaga’ ka menua, ngaga’ ka adat, ngaga’ ka kitai semua.” (Menjaga tanah, menjaga adat, menjaga kita semua.)
Margareta Mala telah membuktikan, dari Dusun Sadap yang jauh di pedalaman, suara kecil bisa menggema ke seluruh negeri, bahkan dunia. Ia menenun bukan hanya kain, tetapi juga harapan.
#KabarBaikSatuIndonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News