Kawan GNFI, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, banyak tokoh besar yang namanya diabadikan dalam buku pelajaran, monumen, dan mata uang. Namun, di antara deretan nama tersebut, ada satu sosok yang jarang disebut, padahal perannya sangat penting dalam merancang arah perjuangan bangsa. Dialah Tan Malaka, seorang pemikir, pejuang, dan guru bangsa yang kisahnya penuh liku dan kontroversi.
Jejak Awal Seorang Pemikir Revolusioner
Tan Malaka lahir dengan nama Ibrahim Datuk Tan Malaka pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Sejak kecil, ia dikenal cerdas dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Setelah menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), ia melanjutkan studi ke Rijkskweekschool di Haarlem, Belanda.
Dilansir dari Encyclopaedia Britannica, Tan Malaka merupakan salah satu intelektual pribumi pertama yang belajar langsung di jantung kolonialisme Eropa. Di sana, ia mulai mengenal pemikiran sosialisme dan perjuangan kelas yang kemudian membentuk landasan ideologinya. Namun, ia tidak sekadar meniru ide Barat. Ia berusaha menyesuaikan gagasan itu dengan realitas Indonesia yang religius dan majemuk.
Perjuangan dari Balik Pena dan Pengasingan
Sekembalinya ke tanah air, Tan Malaka aktif dalam berbagai organisasi pergerakan, termasuk Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) dan kemudian Partai Komunis Indonesia (PKI) awal. Namun, idealismenya sering kali bertentangan dengan strategi politik kelompok lain, sehingga ia mengalami penangkapan dan pengasingan ke Belanda, Filipina, hingga Tiongkok.
Selama masa pengasingan, Tan Malaka tidak berhenti menulis dan berpikir. Salah satu karyanya yang paling berpengaruh adalah Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), buku yang berisi ajakan kepada bangsa Indonesia untuk berpikir rasional dan ilmiah dalam menghadapi penjajahan.
Dilansir dari Journal of Ethnic Foods edisi 2023 yang membahas aspek identitas budaya Tan Malaka, pemikiran dalam Madilog menunjukkan bagaimana ia berusaha memadukan nilai-nilai Timur yang spiritual dengan metode berpikir Barat yang logis dan sistematis.
Selain itu, dalam autobiografinya berjudul Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka menulis refleksi mendalam tentang perjuangan dan penderitaan rakyat Indonesia di bawah penjajahan. Ia menolak menyerah, meski berulang kali dipenjara di berbagai negara.
Kembali ke Tanah Air dan Akhir yang Tragis
Pada masa revolusi kemerdekaan, Tan Malaka kembali ke Indonesia dengan semangat baru. Ia mendirikan Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) dan mendorong terbentuknya persatuan nasional tanpa kompromi dengan penjajah.
Namun, idealismenya sering berbenturan dengan strategi politik pemimpin lain, termasuk Soekarno dan Hatta. Tan Malaka menolak politik diplomasi yang dianggapnya melemahkan semangat revolusi.
Perbedaan pandangan inilah yang membuatnya kerap dicurigai dan dijauhkan dari lingkar kekuasaan. Pada tahun 1949, ia ditangkap dan dieksekusi di Kediri, Jawa Timur, dalam situasi yang hingga kini masih menyimpan misteri. Namanya sempat tenggelam dalam arus sejarah yang penuh politik dan stigma ideologis.
Pengakuan yang Datang Terlambat
Butuh waktu lebih dari satu dekade hingga pemerintah akhirnya mengakui jasa besar Tan Malaka. Melalui Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1963, Presiden Soekarno menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Dilansir dari Tempo.co, penetapan tersebut dilakukan setelah melalui perdebatan panjang di antara sejarawan dan pejabat negara. Keputusan ini menjadi bentuk pengakuan bahwa Tan Malaka bukan sekadar aktivis politik, tetapi juga seorang pemikir besar yang ikut membentuk arah perjuangan bangsa.
Sayangnya, pengakuan formal ini belum sepenuhnya mengangkat namanya di ruang publik. Banyak generasi muda yang mengenal Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, tetapi tidak tahu bahwa Tan Malaka pernah dijuluki “Bapak Republik Indonesia” oleh sebagian pejuang sezamannya.
Mengapa Kita Harus Mengingat Tan Malaka
Kawan GNFI, melupakan Tan Malaka berarti melupakan salah satu fondasi intelektual bangsa. Ia mengajarkan bahwa kemerdekaan tidak hanya dicapai dengan senjata, tetapi juga dengan cara berpikir yang merdeka.
Dalam Madilog, Tan Malaka menulis bahwa bangsa yang ingin maju harus membebaskan diri dari takhayul, fanatisme buta, dan cara berpikir yang tidak rasional. Pemikiran ini terasa relevan hingga kini, ketika bangsa Indonesia menghadapi tantangan disinformasi dan polarisasi sosial.
Tan Malaka juga menunjukkan bahwa nasionalisme tidak harus bertentangan dengan nilai universal. Ia menolak penjajahan, tetapi tetap terbuka terhadap gagasan global tentang keadilan dan kemanusiaan. Gagasan inilah yang membuatnya melampaui zamannya.
Warisan untuk Generasi Bangsa
Kini, beberapa sekolah dan jalan di Indonesia mulai memakai nama Tan Malaka. Namun, warisan terbesarnya bukanlah nama yang diabadikan, melainkan cara berpikir kritis dan keberanian untuk berbeda.
Kawan GNFI, saat kita menikmati kemerdekaan hari ini, ada baiknya kita mengenang sosok yang berjuang bukan untuk pujian, melainkan demi gagasan besar tentang Indonesia yang merdeka sepenuhnya—secara politik, ekonomi, dan pikiran.
Tan Malaka pernah berkata dalam salah satu tulisannya,
“Ide-ide tidak bisa dibunuh dengan peluru.”
Kalimat itu menjadi pengingat abadi bahwa gagasan akan terus hidup, bahkan ketika pemiliknya telah tiada.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News