orang portugis hitam penentu sejarah betawi kisah kaum mardijkers mantan budak yang mendirikan kampung tugu dan melahirkan warisan budaya - News | Good News From Indonesia 2025

Orang Portugis Hitam" Penentu Sejarah Betawi: Kisah Kaum Mardijkers, Mantan Budak yang Mendirikan Kampung Tugu dan Melahirkan Warisan Budaya

Orang Portugis Hitam" Penentu Sejarah Betawi: Kisah Kaum Mardijkers, Mantan Budak yang Mendirikan Kampung Tugu dan Melahirkan Warisan Budaya
images info

Orang Portugis Hitam" Penentu Sejarah Betawi: Kisah Kaum Mardijkers, Mantan Budak yang Mendirikan Kampung Tugu dan Melahirkan Warisan Budaya


Kampung Tugu termasuk dalam wilayah administrasi Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Kampung Tugu mulai berkembang setelah kedatangan 23 keluarga orang-orang Mardijkers oleh Belanda pada tahun 1661 untuk membangun kota.

Kaum Mardijkers atau dijuluki sebagai orang Portugis Hitam ini adalah para mantan budak belian dari anak benua India seperti Benggala, Tamil, Malabar, Gujarat, Sri Langka. Tahun 1628, mereka mulai membanjiri pinggiran Batavia.

Pada awal abad ke-17, VOC bersedia memerdekakan mereka dengan syarat meninggalkan bahasa Portugis dan memeluk agama Protestan. Ketika itu bahasa Melayu-Portugis menjadi bahasa umum di Batavia.

“VOC khawatir hal ini akan menjadi pengikat para perantau dan penduduk pribumi saat memberontak melawan VOC,” jelas Windoro Adi dalam Batavia 1740 - Menyisir Jejak Betawi.

Dijelaskan oleh Windoro, para budak ini kemudian menjadi orang merdeka (mardijkers) dan menjadi jemaat Gereja Sion yang berlokasi di sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan Jalan Mangga Dua, Jakarta Barat.

“Mereka menikah dengan berbagai suku yang tinggal di Batavia, terutama Suku Bali, dan menjadi bagian dari pembentukan suku baru, Betawi,” paparnya.

Hijrah ke Kampung Tugu

Tetapi suasana tentram itu tak berlangsung lama, mereka terdesak oleh kalangan elite Belanda yang hijrah ke Batavia. Menurut sejarawan Belanda, Adolf J Hauken, mereka pindah ke kawan Cilincing, Jakarta Utara pada tahun 1661.

“Ada sekitar 25 keluarga yang terdiri atas 150 Mardijkers pindah ke tempat yang kemudian populer dengan sebutan Kampung Tugu,” jelasnya.

Tahun 1678, Pendeta Melchor Leidecker membangun gereja yang lokasinya berada di Cilincing. Hal ini dilakukan agar para Mardijkers tak tergoda lagi dengan budaya Portugis. Pada tahun 1700, Melchior membuat terjemahan kitab suci dalam bahasa Melayu.

Dua tahun sebelum meletusnya pemberontakan Cina pada 1740, gereja ini dihancurkan oleh orang-orang Tionghoa. Orang Tionghoa menganggap kaum Mardijkers adalah kaki tangan VOC,

Namun, empat tahun kemudian atas kemurahan hati tuan tanah Justinus Vinck, dibangun sebuah gereja yang dikenal sebagai Gereja Tugu di Jalan Raya Gereja Tugu Nomor 20. Tetapi usai bangunan ini selesai, terjadi wabah kolera yang membuat sebagian warga meninggal.

“Penduduk Mardijkers terus menyusut. Karena jumlahnya tak lagi dianggap mewakili penduduk Batavia, dua kompi Mardijkers dibubarkan pemerintah Kolonial Belanda pada akhir abad ke-18,” paparnya.

Menciptakan tradisi sendiri

Dijelaskan oleh Windoro, jumlah kaum Mardijkers saat ini tinggal sekitar 700 jiwa. Sebagian keturunan mereka berasal dari keluarga Abraham, Andries, Cornelis, Michiels, Quiko, dan Brune, sedangkan sisanya punah.

Tetapi mereka tetap mempertahankan tradisi yang dirawat selama ratusan tahun. Hauken mencatat ketika Natal tiba anak-anak membawa obor ke rumah-rumah keluarga Mardijkers sambil berdoa dalam bahasa Portugis.

Masyarakat juga membuat sesajen yang terdiri dari atas ikan pindang, ikan cue, kue kering, kopi manis, kopi pahit, susu, air putih, dan rokok. Arthur salah seorang warga mengenang dulu kaumnya juga belajar silat, menghisap racun serta belajar ilmu memanggil ikan.

Di Kampung Tugu, mereka juga menciptakan makanan khas yang kemudian menjadi perbendaharaan kuliner Betawi, misalnya gado-gado. Warga Kampung Tugu juga mengenal sajian Betawi seperti geplak, wajik, dan lempuk buah kawista.

Arthur menyebut kini makanan khas Betawi yang masih bercap Mardijkers tinggal pindang bandeng serani. Serani berasal dari kata Nasrani atau pemeluk Agama Katolik. Dia mengatakan ikan selalu jadi menu favorit orang Mardjikers.

“Orang-orang Portugis memang paling suka makan ikan, kami pun demikian,” katanya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.