Setiap makhluk hidup, bagai akar yang haus menembus tanah kering, pasti merindukan makanan—sumber nutrisi yang mengalir seperti sungai kehidupan, menyuburkan tubuh dan jiwa. Tak heran, tubuh dan nutrisi itu pun terjalin erat: antara esensi makanan dan tumbuh kembang manusia, utamanya otak.
Itulah keyakinan yang membara di dada Muhammad Farid, seperti api kecil yang menyala di malam gelap—ia percaya, melalui nutrisi yang tercukupi, lahir anak-anak sehat dan cerdas, tak lagi terikat rantai kemiskinan atau kebodohan.
Lewat idenya yang revolusioner—"Sayur untuk Sekolah"— Farid merajut mimpi itu menjadi kenyataan. Ia meraih Satu Indonesia Award 2010 dari Astra—penghargaan bergengsi yang menghormati perubahan positif di bidang pendidikan. Seperti hembusan angin segar di sawah hijau, inisiatif ini tak hanya memberi makan tubuh, tapi juga membangunkan pikiran, membuktikan bahwa dari sesuap sayur, lahir generasi yang tak terkalahkan.
Kok Bisa, Kepikiran Sayur?
Tumbuh di desa, membuat Farid akrab dengan ladang. Berlatar keluarga bukan dari serba ada. Setiap pagi orang tuanya harus bekerja keras di kebun. Pemandangan seperti itu selalu melekat di hati Farid.
Di sisi lain, ia sering melihat anak-anak berangkat pagi-pagi ke sekolah dengan perut kosong. Bukan karena mereka tidak mau, melainkan keterbatasan untuk membeli makanan. Kenyataan pahit membuat banyak dari mereka sering mengantuk. Tidak fokus. Ujung-ujungnya prestasi menjadi menurun.
Terbersit dalam benaknya agar menanam sayur. Dipilihnya sayur bukan tanpa alasan. Sayuran memiliki antioksidan yang dapat melindungi sel-sel otak dan meningkatkan daya ingat. Kandungan seratnya secara umum termasuk tinggi.
Kandungan zat besi, kalsium, folat, dan magnesium pada sayur lebih tinggi dari buah. Begitu kandungan kalori dan gulanya rendah sehingga lebih bisa menimalisir diabetes dibandingkan buah.
Masa panen sayur dianggap relatif lebih singkat daripada buah. Masa panen sayur berada pada kisaran 30 hari hingga 70 hari atau paling lama sekitar 2 bulan. Dari pertanian.go.id mengatakan kalau sayur bayam baru bisa dipanen umur 1 hingga 1,5 bulan. Hal yang sama juga berlaku pada kangkung. Kalau sawi hijau baru bisa dipanen umur 2 bulan. Semuanya sayur kebanyakan dalam interval bulanan.
Beda dengan buah yang baru bisa dipanen dalam waktu interval tahunan. Dilansir dari andrafarm.com menyebut anggur baru bisa dipanen umur 2 hingga 4 tahun. Jambu biji baru 1,5 hingga 3 tahun. Belimbing wuluh sekitar 1 hingga 2 tahun. Apel sekitar 4 sampai 7 tahun.
Aksi Sayur untuk Sekolah Dimulai
Pagi itu dimulai.
Farid ingin anak-anak bisa menanam sayur itu sendiri. Kemudian bisa menikmatinya untuk kebutuhan gizi sehari-hari. Dengan dana seadanya, perlahan Farid mulai menanam sayur. Sayur yang ditanam mulai dari bayam, sawi, kangkung, dan cabai.
Tidak banyak yang percaya pada awalnya. Ide ini masih dianggap aneh. Ada yang mengatakan kalau itu sia-sia saja. Bagi Farid, sayur yang ia tanam bukan sekadar tanaman. Melainkan menanam dan menyemai mimpi agar anak-anak bisa tumbuh lebih sehat dan cerdas.
Ia menanam sayur bersama anak-anak sekolah dasar di sekolah dekat tempat tinggalnya. Perlahan sekolah itu tampak lebih hijau. Lebih segar. Sayur yang ia tanam bisa dipanen hampir setiap bulan.
Sayur itu dimasak bersama. Makan bersama anak-anak itu di sekolah. Senyum anak-anak terlukis dari wajah mereka. Kini, mereka tidak perlu cemas soal makanan. Sayur yang mereka tanam bisa melengkapi nutrisi yang mereka butuhkan di sekolah.
Anak-anak bisa lebih tenang. Fokus pada pelajaran. Tidak mengantuk lagi. Tidak lagi ada perut keroncongan. Perlahan para guru mulai mengakui kemajuan anak-anak. Prestasi murid banyak yang meningkat.
Dari sini, Farid mencoba menggandeng tangan pemerintah desa. Mencoba agar ide ini menjadi kegiatan keberlanjutan di sekolah. Terus dilakukan meski telah berganti tahun. Farid juga terus mencoba dengan menyediakan bibit tanaman mulai dari kangkung, bayam, sawi, dan cabai.
Tantangan yang lebih besar ada di depan. Apakah ide ini masih berlanjut meski telah berganti murid? Apakah kemudian kegiatan positif ini masih berlanjut meski telah berganti guru?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News