paradoks efektivitas digital hidup seba cepat serba hampa - News | Good News From Indonesia 2025

Paradoks Efektivitas Digital: Hidup Seba Cepat, Serba Hampa

Paradoks Efektivitas Digital: Hidup Seba Cepat, Serba Hampa
images info

Paradoks Efektivitas Digital: Hidup Seba Cepat, Serba Hampa


Pernahkah Kawan GNFI merasa waktu berjalan begitu cepat, tetapi makna hidup justru semakin melambat? Pernahkah terlintas dalam pikiran bahwa dahulu kehidupan tidak begitu hambar seperti saat ini?

Ternyata, hal ini bisa disebabkan oleh perkembangan teknologi yang begitu pesat. Saat ini efektivitas sangat diutamakan, sehingga semuanya terasa begitu cepat. Misalnya, dahulu mencari informasi diharuskan membaca buku, yang dapat membangun hubungan antara manusia dengan pengetahuan, karena dibutuhkan waktu dan kesabaran dalam prosesnya.

Namun, saat ini informasi dapat diperoleh hanya beberapa detik saja, terutama setelah hadirnya Artificial Intelligence (AI). Terkadang, kemajuan teknologi membuat kita kehilangan makna untuk menikmati hidup, karena hilangnya sensasi menunggu dan berproses dalam memperoleh sesuatu.

baca juga

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi telah memberikan banyak manfaat bagi sebagian besar kehidupan manusia hingga saat ini. Namun, di balik manfaat tersebut terdapat konsekuensi terhadap kesehatan mental yang sering kali terabaikan. 

Saat Kecepatan Menggeser Makna Hidup

Teori Logoterapi Viktor Frankl menyatakan bahwa penderitaan psikis modern saat ini terjadi karena manusia kehilangan makna. Efektivitas yang menjadi acuan utama dalam menjalani aktivitas sehari-hari membuat kita jarang berhenti untuk benar-benar merenungi sesuatu dan menikmati proses kehidupan.

Perubahan rutinitas menjadi scrolling media sosial saja, tanpa kegiatan nyata yang bermakna dapat menimbulkan kekosongan hidup. Teori ini mengemukakan bahwa manusia hidup untuk mencari makna. Oleh karena itu, tidaklah salah jika kehidupan terasa datar atau abu-abu karena kecanduan teknologi sering kali membuat kita kehilangan rasa manusiawi.

Kecenderungan mengutamakan efektivitas di era digitalisasi juga dapat menimbulkan perasaan kesepian. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi secara langsung antara satu sama lain dalam kehidupan sehari-harinya.

Teknologi menciptakan ilusi koneksi sosial dan stimulasi berlebihan (overstimulation) terhadap otak, terutama dalam penggunaan aplikasi media sosial. Hal ini menyebabkan minimnya kesadaran akan kebahagiaan alami. 

Otak kita terbiasa dengan stimulasi yang cepat dan singkat, sehingga cara kerjanya berubah menjadi pola konsumsi digital yang serba instan. Akibatnya, otak mengalami digital overstimulation, atau yang lebih kita kenal dengan dopamine fatigue.

Fenomena ini terjadi saat otak kita kelelahan karena terus-menerus menerima rangsangan cepat dari dunia digital. 

baca juga

Rentang Perhatian Manusia Kalah dari Ikan Mas?

Misalnya, pernahkah Kawan GNFI merasa begitu bosan untuk menonton video berdurasi panjang dan beralih ke video singkat berdurasi 30 detik? Atau bahkan untuk menonton video 30 detik pun kadang terasa lama?

Perasaan bosan tersebut hadir karena saat ini otak terbiasa menerima reward instan, sehingga apabila kita melakukan sesuatu yang membutuhkan waktu lebih lama, hal itu langsung terasa membosankan. Ini disebabkan oleh rentang perhatian (attention span) kita yang lebih pendek.

Muncul kebiasaan bahwa segalanya harus berjalan cepat, padat, dan menghibur, bukan lagi proses yang mendalam. Bahkan, dalam berinteraksi sosial dan belajar, kita lebih mementingkan hasil yang instan daripada proses yang bermakna.

Padahal, proses inilah yang dapat memberikan kita makna hidup, karena saat menikmati waktu dalam berproses, di sanalah manusia biasanya merasa paling hidup.

Kemampuan teknologi untuk mendapatkan informasi dengan cepat mengakibatkan otak terbiasa untuk berpindah-pindah fokus, yang mengakibatkan sulitnya berkonsentrasi. Jika diibaratkan, otak kita seperti membuka banyak tab yang kerap berpindah-pindah, sehingga mengalami digital overstimulation yang dapat mengurangi kemampuan berkonsentrasi.

baca juga

Penelitian Microsoft (2015) menunjukkan bahwa rata-rata rentang perhatian (attention span) manusia saat ini hanya 8 detik, sehingga memiliki rentang perhatian yang lebih sedikit dari ikan mas koki, yakni 9 detik.

Tim riset menyimpulkan bahwa peristiwa ini disebabkan oleh inovasi-inovasi teknologi informasi yang mengurangi tingkat konsentrasi manusia.

Dengan demikian, tidak salah jika efektivitas akibat kemajuan teknologi membuat kehidupan terasa hambar. Kita terbiasa mengejar kecepatan hingga melupakan maka dari proses yang dijalani. Hilangnya kesabaran, apresiasi terhadap proses yang dilakukan, dan kemampuan menikmati hal-hal sederhana menjadi tanda tergerusnya sisi kemanusiaan di tengah derasnya arus teknologi.

Kita perlu mengingat bahwa diperlukan ruang untuk merasakan, berpikir, dan bernapas untuk menikmati hal-hal yang penuh makna dalam hidup. Perubahan ini dapat dimulai dengan memberi jeda di tengah kesibukan dan menikmati keheningan tanpa distraksi.

Kesehatan mental juga berperan penting untuk menikmati kehidupan yang penuh makna. Pada akhirnya, teknologi adalah alat dalam hidup kita, bukan tuan yang membuat hilangnya rasa manusiawi itu sendiri.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SN
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.