"Mungkin bagi sebagian orang setuju bahwa pengalaman adalah guru terbaik, tetapi bagi saya menjadi seorang guru adalah pengalaman terbaik. Karena kalau bukan sekarang kita berkontribusi, kapan lagi? Dan kalau bukan kita, pemuda, siapa lagi?", ungkap Bhrisco Jordy Dodi Padatu, penggagas Papua Future Project.
Dulu, ada salah satu murid. Awalnya dia buta huruf. Bahkan menulis namanya sendiri pun belum bisa. Hari demi hari. Perlahan, anak ini mulai bisa sedikit demi sedikit.
Bhrisco mengaku cukup terharu saat melihat kata pertama yang ditulis anak itu adalah namanya. Anak itu sempat bercerita. Anak itu harus bertanya pada teman-temannya cara menulis nama "Jordy".
Di situ Bhrisco merasa begitu bersyukur. Melihat anak-anak perlahan mulai bisa mengingat huruf. Mulai bisa menulis. Apalagi menjadikan nama Jordy untuk belajar menulis. Jordy juga bersyukur ditakdirkan menjadi bagian dari proses hidup anak-anak dalam meraih mimpi-mimpi mereka.
Realita Yang Harus Dihadapi
Di bibir pantai Pulau Mansinam, Papua Barat. Anak-anak berdiri dengan mata berbinar-binar. Menyambut kedatangan dari kakak relawan Papua Future Project. Bagi mereka, kakak-kakak Papua Future Project yang bisa mengantarkan mimpi-mimpi mereka setapak demi setapak.
Harus diakui. Di sini. Di Pulau Mansinam. Menjadi pulau terluar yang bercengkrama langsung dengan samudera lepas. Pendidikan di sini sudah seperti mutiara yang hampir sulit didapat.
Tak heran bila kemudian masih dapat kita temukan anak-anak sudah hampir lulus SD. Tapi sayangnya masih buta huruf. Dari sinilah, Jordy bersama relawan Papua Future Project berjuang membawa akses literasi yang cocok dan solutif. Ini semua demi generasi bangsa. Membangun masa depan dari Timur Indonesia.
Setiap anak itu penting. Hak pendidikan sudah seharusnya mereka dapatkan. Tanpa ada pengecualian.
Sama-sama dalam satu provinsi. Ada perbedaan bagaikan bumi dan langit. Ini terjadi antara Kota Manokwari dan Pulau Mansinam. Padahal, jaraknya kira-kira 15 hingga 30 menit perjalanan dengan kapal. Di situlah, dibalik memukaunya alam, ternyata masih ada anak-anak yang merasakan sulit mendapatkan akses pendidikan.
Masalah buta huruf di sini memanglah banyak penyebabnya. Mulai dari sedikitnya tenaga profesional. Jam belajar yang belum maksimal. Orang tua yang buta huruf. Masih banyak juga anak-anak yang terpaksa membantu orang tuanya mencari nafkah sehingga sering tidak masuk sekolah. Apalagi sarana dan prasarana di sini masih jauh dari kata layak.
Di sini, Pulau Mansinam hanya punya satu SD dan satu SMP. Itu saja menjadi tujuan anak-anak dari pulau lain. Misalnya anak-anak dari Pulau Lemon. Di sana, anak-anak bergantung pada kapal sekolah. Sayangnya mereka harus rela berbagi fungsi dengan masyarakat yang mencari nafkah sehari-hari. Mereka harus sabar menunggu hingga sore untuk bisa kembali ke rumah.
Kendala yang serupa juga dialami oleh para guru. Kebanyakan guru ini berdomisili di Kota Manokwari. Kapal yang terbatas untuk menyeberang. Membuat kelas sering kosong. Terkadang harus berjalan beberapa jam saja. Guru di sini harus berkejaran dengan jadwal keberangkatan kapal. Kenyataan ini membuat belajar mengajar harus beradaptasi dengan kondisi itu.
Kenyataan ini yang harus dihadapi oleh Bhrisco dan relawan Papua Future Project. Anak-anak Pulau Mansinam masih membutuhkan uluran tangan. Kondisi seperti inilah yang mengetuk pintu hati Bhrisco. Demi mewujudkan mimpi-mimpi besar anak-anak Pulau Mansinam.
Apa yang Diajarkan Di Sana?
Di setiap kelas, anak-anak asyik terlibat dalam beragam aktivitas edukatif dan interaktif. Mulai dari kenalan sama panca indra, belajar hidup bersih, paham dunia digital, sampe berhitung lewat permainan seru yang bikin ketagihan.
Untuk panca indra, mereka jelajahi lewat gambar tempel dan sambung gambar, sambil semangat nyebut fungsi masing-masing—seperti mata buat lihat, telinga buat mendengar. Ini nggak cuma tambah ingatan, tapi juga latih motorik halus biar lebih lincah dan berkembang pesat.
Abis itu, petualangan lanjut ke pantai dengan permainan "cari dan cocokkan" warna. Setelah kumpulin benda alam macam-macam, mereka bikin kolase kreatif dari hasil buruan. Terus, diajarin cuci tangan yang benar—dari situ, anak-anak paham soal kebersihan, mandiri, dan kenapa hidup sehat itu penting banget.
Anak-anak mulai kenalan sama dunia digital lewat laptop dan smartphone. Mereka coba buka aplikasi, ngetik-ngetik, sampai paham ikon save, copy, paste—semuanya dengan tangan mungil yang penasaran.
Lalu, nonton video animasi seru soal ekosistem laut, diikuti sesi tanya-jawab yang bikin fokus dan ingatan mereka makin tajam. Yang jawab benar? Dapet pujian hangat, stiker bintang kinclong, camilan enak, plus kerajinan tangan lokal sebagai hadiah spesial.
Matematika juga nggak kalah asyik pakai UNOMath! Mereka main bareng sambil latihan tambah, kurang, kali, bagi—semua jadi strategi cerdas dalam permainan tim. Ini nggak cuma cepetin hitung-hitungan, tapi juga ajarin kerjasama dan mikir taktis bareng teman.
Minggu ini buktiin banget: belajar bisa fun, kreatif, dan berarti meski di tengah keterbatasan. Jordy yakin, api mimpi nggak bakal padam—ini kobaran semangat dari barat Papua yang siap menyala terang!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News