Siti tumbuh sebagai anak dari keluarga sederhana. Tidak ada yang terlihat salah dari luar. Rumahnya rapi, kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Namn, setiap kali ibunya memanggil, rasa amarah di dalam dirinya seperti ingin berteriak keluar.
Suatu sore, ketika Siti baru pulang sekolah dan menaruh tasnya di kursi ruang tamu, ibunya menghampirinya. “Siti, kamu sudah makan?” tanyanya pelan.
Alih-alih menjawab dengan tenang, Siti menoleh tajam. Rahangnya mengeras. Matanya menyipit dan tampak sinis. Suaranya meledak lebih tinggi seolah tidak bisa ia kendalikan. “Belum!” bentaknya. Ibunya terdiam, menatapnya dengan kebingungan yang tak terucapkan. Siti memalingkan wajah, seolah ingin menghindar dari sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak mengerti.
Catatan: Cerita di atas adalah sebuah ilustrasi untuk menggambarkan fenomena unfinished business yang sering terjadi.
Pernahkah Kawan memiliki kenangan menyakitkan sewaktu kecil yang masih terasa perih ketika mengingat kembali, sampai-sampai Kawan bereaksi berlebihan terhadap hal-hal sepele seperti pada kisah Siti di atas?
Jika ya, mungkin saja Kawan mengalami hal yang di dalam psilokogi disebut sebagai unfinished business (urusan yang belum selesai).
Menurut Paivio & Greenberg, dua ahli psikoterapi, unfinished business adalah pengalaman emosional yang menyakitkan di masa lalu—misalnya ketika seseorang dihina, diabaikan, atau ditinggalkan—yang tidak pernah benar-benar dihadapi atau diungkapkan.
Perasaan seperti marah, sedih, atau kecewa yang dulu tidak pernah dinyatakan dan diproses secara tuntas akan tetap tersimpan dalam diri. Berpotensi muncul kembali di masa sekarang dalam bentuk intrusive thought (pikiran-pikiran yang menggangu), emosi yang meledak tiba-tiba, atau hubungan yang tidak sehat.
Unfinished Business Menurut Psikologi Gestalt: Sandiwara yang Belum Tuntas
Hidup Kawan layaknya sebuah panggung teater. Setiap pengalaman, interaksi, dan perasaan adalah bagian dari sebuah adegan. Kawan berperan sebagai protagonis, ada pula lawan main, konflik, klimaks, dan yang seharusnya ada: penutupan.
Psikologi gestalt, dengan prinsip utamanya yang terkenal "the whole is greater than the sum of its parts" (keseluruhan lebih penting daripada bagian-bagiannya), melihat kehidupan psikologis kita seperti menyusun sebuah gambar utuh (gestalt).
Setiap pengalaman harus bisa diselesaikan, "digambar" dengan tuntas, agar kita bisa membuat gambar berikutnya dengan kanvas yang kosong.
Nah, unfinished business adalah adegan yang terhenti sebelum kata "selesai" diucapkan. Dialog terpenting belum terucap, air mata belum tumpah, amarah belum disalurkan.
Adegan itu dipaksa turun panggung, lampu dimatikan paksa, tapi para pemainnya—bersama dengan emosi, kata-kata, dan harapan yang menggantung—masih berdiri di sana, dalam gelap, menunggu giliran.
Pertanyaan besar muncul dalam benak, “Lantas bagaimana cara menyelesaikan sandiwara yang terhenti itu sehingga sang protagonis bisa menjalani cerita yang baru?”
Empty-Chair Dialogue: Berdamai dengan Luka Masa Lalu
Salah satu aliran pemikiran dalam ilmu psikologi yang menginspirasi metode terapi psikologis (psikoterapi) adalah psikologi gestalt. Gestalt therapy yang merupakan pendekatan terapi dari aliran gestalt banyak membahas mengenai unfinished business.
Salah satu metode atau teknik terapi unfinished business yang digunakan dalam pendekatan gestalt therapy adalah teknik kursi kosong (empty-chair dialogue).
Dalam teknik kursi kosong klien duduk di sebuah kursi, dan “menghadapi” kursi kosong di depan mereka—yang dilihat sebagai representasi dari orang lain (misalnya orang tua, pasangan, figur penting) atau aspek dari diri sendiri.
Klien kemudian berbicara kepada “orang atau bagian diri sendiri” yang dibayangkan berada di kursi kosong itu, menyampaikan perasaan, pemikiran, luka, atau konflik yang belum terselesaikan.
Penelitian Greenberg dan Malcolm pada tahun 2002 berhasil memetakan tahapan spesifik yang dialami klien selama teknik kursi kosong berlangsung.
Tahapan ini disebut sebagai tahapan penyelesaian (the resolution model), dan merupakan kunci utama mengapa teknik ini bisa membawa perubahan yang mendalam.
Tahapan-tahapan tersebut adalah:
Mengutarakan Keluhan dan Rasa Sakit: Tahap awal adalah mengeluarkan semua unek-unek, tuduhan, dan perasaan terluka yang selama ini dipendam kepada sosok di kursi kosong. Ini adalah fondasi untuk memulai proses.
Mengakses dan Mengekspresikan Emosi Primer: Di sini, klien tidak hanya bercerita, tetapi dibimbing untuk benar-benar menyentuh dan mengungkapkan emosi inti yang dahulu terhambat—bisa berupa kemarahan, kesedihan mendalam, atau ketakutan yang kuat.
Mengidentifikasi dan Mengungkapkan Kebutuhan yang Tidak Terpenuhi: Ini adalah titik kritis. Klien bergerak melampaui emosi, untuk menemukan dan menyatakan kebutuhan psikologis mendasar yang tidak dipenuhi dalam hubungan itu, seperti kebutuhan untuk diakui, dihormati, atau merasa aman.
Pergeseran Pandangan terhadap Orang Lain: Setelah mengungkapkan emosi dan kebutuhan, persepsi klien terhadap sosok tersebut mulai berubah. Mereka mungkin mulai melihat sisi lain atau konteks yang lebih luas, atau justru semakin tegas dalam menetapkan batasan dan meminta pertanggungjawaban.
Resolusi: Tahap akhir ditandai dengan klien mengambil posisi yang lebih tegas dan berdaya. Mereka mungkin mencapai pemahaman baru yang memungkinkan penerimaan, atau mereka mungkin memutuskan untuk menegaskan diri dan melepaskan pengaruh luka masa lalu. Intinya, mereka mendapatkan kembali kendali atas narasi dan perasaan mereka.
Ledakan emosi seperti yang dialami Siti seringkali adalah gema dari luka lama yang belum selesai. Unfinished business bukan kelemahan, melainkan tanda bahwa bagian dalam diri kita masih mencari kata "selesai".
Gestalt therapy, melalui teknik kursi kosong, memberi kita panggung untuk menutup bab-bab emosional yang tertunda. Kita tak bisa mengubah masa lalu, tetapi bisa mengubah bagaimana masa lalu itu memengaruhi kita di masa kini.
Menyelesaikan urusan yang belum tuntas bukan tentang melupakan, tetapi mengubah hubungan kita dengan ingatan itu sendiri—dari tahanan menjadi sutradara.
Dengan memberi penutupan pada bab lama, kita membebaskan ruang untuk sepenuhnya hidup di bab yang sedang kita jalani sekarang dan selanjutnya.
Jika cerita Siti terasa familiar, ingatlah bahwa mengenali unfinished business adalah langkah pertama penyembuhan. Untuk luka yang lebih dalam, pertimbangkan untuk berkonsultasi dengan psikolog profesional.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


