“Kita perlu bersama-sama menjaga ekosistem informasi yang sehat. Media baru bisa belajar dari standar verifikasi media arus utama, sementara media mainstream dapat memanfaatkan kreativitas dan jangkauan digital media baru,” ucap Citra Dyah Prastuti, Pemimpin Redaksi KBR.
Ya, tidak ada senioritas jenis media dan siapa yang paling unggul dalam menyajikan informasi. Keduanya, baik media arus utama (mainstream media) maupun media baru (new media) bisa saling belajar untuk menciptakan ekosistem penyajian informasi yang sehat.
Sebab, keduanya punya ciri khas, keunggulan, dan pola yang berbeda, sehingga pangsa pasar atau pembaca antar keduanya juga tersegmentasi. Dengan adanya kolaborasi, pasar pembaca jauh lebih luas dan beragam, sedangkan informasi publik yang disajikan pun lebih sehat, kredibel, dan berkelanjutan di era digital.
“Yang penting bukan labelnya, tapi bagaimana kita bersama-sama menjaga ekosistem informasi publik yang sehat,” imbuhnya dalam dalam diskusi panel Indonesia Digital Conference (IDC) 2025 yang digelar Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dalam rangkaian di The Hub, Epicentrum, Jakarta, Kamis (23/10/2025).
Indonesia Digital Conference (IDC) adalah ajang tahunan yang diselenggarakan AMSI. Tahun ini, IFC digelar di The Hub Epicentrum, Jakarta Selatan, pada 22–23 Oktober 2025. IDC mengangkat tema “Sovereign AI: Menuju Kemandirian Digital” pada tahun ini. Mereka menyoroti pentingnya kedaulatan dan kemandirian industri media dalam menghadapi gelombang transformasi digital berbasis kecerdasan buatan (AI).
Pada laman resminya, AMSI mengungkapkan bahwa IDC 2025 menjadi wadah diskusi lintas sektor antara redaksi, pemerintah, akademisi, dan pelaku industri untuk mencari model kedaulatan digital yang tetap berpihak pada publik.
Media Lokal dan Nasional yang Terbuka
Media lokal dan media nasional terbuka untuk berkolaborasi berbagai pihak, termasuk dengan media baru. Sejumlah pimpinan media nasional dan lokal bahkan turut menyoroti pentingnya sinergi antar berbagai jenis media di tengah perubahan pola konsumsi informasi publik. Preferensi publik bergeser dari koran dan media arus utama ke platform digital dan media sosial.
Keterbukaan media dalam berkolaborasi disebabkan oleh ketidakinginan mainstream media tertinggal dan tidak lagi relevan. Sebab, media baru kerap kali lebih cepat dan dekat dengan audiens. Hal ini sesuai dengan ciri khas new media yang hadir langsung di platform sosial. Oleh karena itu, kolaborasi di sini adalah kunci.
Meski demikian, yang perlu ditekankan adalah kecepatan tidak boleh mengorbankan proses verifikasi dan etika jurnalistik. Sebagaimana media arus utama, media baru pun tetap berpegang pada kode etik jurnalistik.
Pada dasarnya, media tidak hanya berfokus pada kecepatan dan viralitas, tetapi juga tetap mengedepankan prinsip verifikasi, akurasi, dan etika jurnalistik. Tujuan utama yang harus dicapai adalah mencapai kebenaran informasi, bukan keviralan.
“Menjaga kemerdekaan pers berarti menjaga demokrasi. Media besar dan media komunitas harus bersatu memperjuangkan hak publik atas informasi yang benar,” kata CEO Kabar Group Indonesia, Upi Asmaradana.
Oleh karena itu, media arus utama perlu membuka ruang bagi media lokal dan komunitas yang sering kali memiliki kedekatan lebih kuat dengan isu-isu masyarakat akar rumput.
Di banyak daerah, media komunitas justru mengumpulkan berbagai cerita atau keunikan yang kerap luput dari sorotan nasional. Ketika media besar dan lokal bersinergi, yang terjadi adalah pemerataan akses informasi yang adil. Inilah bentuk baru kemerdekaan pers di era digital.
Isu kolaborasi ini sejatinya sejalan dengan tema besar IDC tahun ini. Kolaborasi antara media arus utama dan new media adalah bagian dari perjuangan membangun ekosistem informasi nasional. Lebih lanjut, AMSI sebagai penyelenggara menekankan bahwa media Indonesia perlu mengembangkan kemandirian teknologi agar tidak bergantung sepenuhnya pada platform global.
Pola Baru Pembaca, Mencari Informasi di New Media
Berbagai riset telah menunjukkan adanya pergeseran pola-pola masyarakat dalam mencari informasi. Mereka kini lebih sering mengakses informasi dari berbagai media sosial, seperti TikTok, Instagram, dan YouTube. Media-media tersebut telah menjadi tempat bertumbuhnya media baru sehingga akses informasi tidak lagi ada di koran atau media arus utama.
Temuan itu dilaporkan Reuters Institute Digital News Report 2024 yang mencatat bahwa enam dari sepuluh orang Indonesia mendapatkan berita utamanya melalui platform media sosial. Akses ke portal berita masih ada, tetapi semakin tertinggal oleh kecepatan dan format yang lebih menarik di platform digital seperti TikTok, Instagram, dan YouTube.
Tren yang sama terlihat dalam laporan We Are Social dan Kepios Digital 2025. Laporan tersebut memperlihatkan bahwa pengguna media sosial aktif di Indonesia telah mencapai lebih dari 79% populasi, dengan waktu rata-rata penggunaan mencapai 3 jam 6 menit per hari. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan waktu yang dihabiskan untuk membaca berita di situs web atau menonton televisi.
“Perubahan ini menuntut media untuk beradaptasi. Kolaborasi antara media konvensional dan media sosial adalah keniscayaan agar media tetap relevan,” ujar Suwarjono, CEO Arkadia Digital Media.
Kunci masa depan media Indonesia terletak pada kemampuan beradaptasi dan berkolaborasi. Kerjasama konten dan penguatan kapasitas digital menjadi salah satu cara agar media bisa bertahan dan tetap berpengaruh di tengah perubahan ekosistem digital yang cepat.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News