Irwan Bajang, sosok pemuda literasi. Pemuda yang mendapat perhatian dari Satu Indonesia Award dari Astra tahun 2014. Langkahnya dinilai telah berkontribusi besar di dalam bidang pendidikan. Bagaimana kisahnya? Inilah ceritanya.
Inilah Sebab Utama Lahir Ide Virus Menulis
Waktu itu sebuah fakta hadir dari PISA (ProgrammeforInternationalStudentAssessment) tahun 2012. PISA mengatakan bahwa Indonesia menjadi negara dengan peringkat kedua dari bawah. Dari 65 negara yang ada. Indonesia bertengger di posisi 64. Beda dengan negara tetangga, Vietnam, yang sama-sama masih berkembang justru menempati posisi 20 besar.
UNESCO pada tahun yang sama juga menyebut, indeks minat baca Indonesia masih di angka 0,001. Ini artinya dari setiap seribu orang hanya ada satu orang saja yang membaca. Tentu ini menjadi tamparan tersendiri bagi Indonesia.
Harus diakui banyak faktor mengapa angka literasi itu masih nyaman di sana. Sejumlah faktor itu diantaranya masih minimnya akses untuk bahan bacaan. Begitu juga tempatnya.
Padahal literasi itu penting. Bukan sekadar dan sebatas kemampuan membaca. Bukan sekadar pengetahuan untuk menulis. Bukan lagi sekadar berbicara dan memahami ide. Akan tetapi dengan literasi bisa memberdayakan masyarakat dan individu. Meng-upgrade kualitas hidup. Menjadi kompas hidup dalam menghadapi tantangan zaman.
Kenyataan ini mengetuk hati Irwan Bajang. Ia berharap literasi Indonesia berubah menjadi lebih baik. Para penulis tersalurkan idenya. Irwan mengira perlu wadah bagi gagasan para penulis yang belum mendapat sambutan hangat dari penerbit besar. Ia berharap jika menulis bukan menjadi sebuah halangan lagi. Menyebar meluas seperti virus.
Aksi Nyata Si Penebar Virus Menulis
Memang tidak mudah pada awalnya. Irwan Bajang harus bersusah payah. Membuat sebuah penerbit buku yang mandiri. Ia beri nama IndieBookCorner (IBC). Penerbit yang dibuatnya lebih diutamakan bagi mereka, para penulis pemula agar ide-ide mereka dan gagasannya terwadahi.
Kalau mendengar film indie. Mendengar musik indie. Mungkin terdengar biasa saja. Nah, penerbit indie pun ada. Ini menjadi cara bagi Irwan agar literasi bukan hanya membaca. Bukan hanya menulis. Tetapi literasi itu tentang mendapatkan informasi sekaligus menyampaikannya ke banyak orang.
Irwan sadar, ia tidak bisa melakukan itu semua seorang diri. Perlu teman. Perlu orang lain. Kebetulan ia berhasil menemukan teman yang memiliki tujuan yang senadi. Dari situ kemudian lahir sebuah ide dengan membentuk "Patjar Merah".
Nama Patjar Merah sendiri diambil dari karakter sebuah novel dengan judul yang sama. Dimana tokoh ini memiliki kecerdasan. Tokoh ini memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tokoh ini sebenarnya menggambarkan sosok Tan Malaka. Sosok pria ini identik dengan kecerdasan dan literasinya. Dari karakter novel yang pernah terbit tahun 1930-an itu, Irwan berharap idenya akan sama luar biasanya.
Patjar Merah yang lahir dari tangannya kini lebih bergerak pada festival kecil literasi dan menjadi pasar buku keliling. Bukan tanggung-tanggung, saat festival ada diskon bombastis. Diskonnya sebesar 80%.
Meski demikian, Patjar Merah itu tidak ingin berhenti di situ. Ke depannya ingin lebih bergerak pada literasi sosial media. Bergerak pada literasi socialbranding. Literasi pertunjukan. Bagi mereka, literasi bukan hanya soal dunia buku saja. Melainkan bagaimana seseorang itu memahami sesuatu. Ini juga supaya orang mengenal literasi bukan sekadar pada buku dan sastra saja.
Aksi nyata Irwan inilah yang kemudian mendapat penghargaan dari Astra 2014 pada bidang pendidikan. Baginya, Indonesia membutuhkan pemikiran-pemikiran anak muda untuk maju dan berkembang. Salah satu jalannya adalah dengan mengampanyekan kegiatan literasi lebih menyebar lagi. Melalui pendidikan, Irwan percaya bahwa penyakit kebodohan dan kemiskinan bisa segera diobati.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News