era kuhp baru segera tiba perlu diiringi penegakan hukum yang profesional - News | Good News From Indonesia 2025

Era KUHP Baru Segera Tiba, Perlu Diiringi Penegakan Hukum yang Profesional

Era KUHP Baru Segera Tiba, Perlu Diiringi Penegakan Hukum yang Profesional
images info

Era KUHP Baru Segera Tiba, Perlu Diiringi Penegakan Hukum yang Profesional


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru bakal mulai diberlakukan pada Januari 2026. Kitab yang mengatur soal ketentuan mengenai dugaan pelanggaran hukum itu sudah disahkan pada Januari 2023 dan akan segera berlaku sebagai pedoman atau dasar hukum pidana versi “update” di Indonesia.

KUHP versi lama merupakan undang-undang warisan kolonial yang dianggap sudah jadul. Peraturan perundang-undangan itu bersumber dari kitab Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie milik pemerintah kolonial. Pengesahannya dilakukan pada 1915 dan diberlakukan pada 1918.

Saat Indonesia merdeka, KUHP tetap diberlakukan, tetapi dengan disertai penyelarasan seperti pencabutan pasal-pasal yang tidak relevan. Kemudian, pada tahun 1946, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. UU ini dijadikan dasar hukum perubahan kitab Belanda tadi menjadi Wetboek van Strafrecht yang kemudian dikenal dengan KUHP.

Pembaruan KUHP sebagai Kebutuhan Mendesak

Pembaruan KUHP menjadi kebutuhan mendesak yang sudah melalui proses panjang sejak 1960-an. Dosen Fakultas Hukum dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr. Muchamad Iksan, S.H., M.H., mengungkap bahwa proses penyusuan KUHP yang baru dilandasi berbagai pertimbangan politis, sosiologis, filosofis, praktis, hingga adaptif.

Menurutnya, Indonesia sebagai negara merdeka sudah semestinya memiliki hukum pidana yang “dibuat sendiri oleh bangsa Indonesia”. Ditambah lagi, secara sosiologis KUHP lama dinilai tak lagi mampu mengakomodasi keberagaman nilai dan hukum adat yang ada di masyarakat.

“Di Indonesia itu banyak hukum adat, hukum yang hidup di masyarakat yang memang tidak ada aturan tertulisnya,” katanya di laman ums.ac.id.

Belanda sebagai negara legalistik mewajibkan aturan tertulis. Sementara itu, di Indonesia hukum adat masih berlaku dan dihormati.

Lebih lanjut, Iksan menerangkan jika hukum tidak tertulis itu tidak memiliki tempat di KUHP lama, sehingga sering ada putusan pengadilan yang dianggap tidak adil, terutama bagi masyarakat adat yang hukum adatnya masih hidup, karena tidak sesuai dengan hukum adat mereka.

Pengakuan eksplisit terhadap hukum adat tertuang di Pasal 2. Iksan menyebut bahwa keputusan ini menjadi pengakuan terhadap hukum adat sebagai bagian dari sumber hukum pidana.

baca juga

Ia juga menjelaskan, secara filosofis perbedaan paradigma antara Belanda dan Indonesia turut berpengaruh pada perumusan pasal-pasal, baik dalam ketentuan umum maupun jenis-jenis delik. Lalu, dari sisi praktis, KUHP lama menggunakan bahasa Belanda dan tidak ada terjemahan resminya. Hal ini menimbulkan potensi bias dan kesalahan tafsir.

“Tentu saja ini memberikan ruang terjadinya perbedaan pemahaman, perbedaan tafsir terhadap pasal yang aslinya berbahasa Belanda itu,” jelasnya.

Ia turut menyoroti aspek adaptif, utamanya dalam merespons perkembangan teknologi dan dinamika internasional, di mana KUHP tidak dapat menampung semua perkembangan hukum pidana modern. Hal ini yang kemudian melahirkan berbagai UU pidana di luar KUHP sebagai pelengkap.

Dorong Profesionalitas Aparat Hukum

Iksan tak menampik soal banyaknya kritik yang diberikan pada KUHP baru, terutama beberapa pasal yang dianggap berpotensi menjadi pasal karet, seperti pasal penyerangan kehormatan/martabat presiden dan wakilnya, delik penghinaan pada pemerintah, dan penghinaan pada golongan penduduk.

Menurutnya, keberadaan delik tersebut tetap dibutuhkan. Ia menilai bahwa risiko pasal karet tidak semestinya menjadi alasan penghapusan delik.

Iksan menegaskan, yang perlu diperbaiki adalah aparat penegak hukum. Aparat harus profesional dan berintegritas tinggi, menjunjung tinggi kesusilaan, hak asasi manusia, keadaban, dan lainnya.

Ia juga menjelaskan terkait pasal karet yang sering muncul. Menurutnya, kata-kata yang digunakan dalam pasal yang disebut karet itu karena adanya keterbatasan diksi dalam perumusan undang-undang.

“Digunakannya kata tersebut di dalam pasal ‘karet’ karena tidak ada pilihan kata lain. Tetapi memang barangkali mungkin bagian dari politik hukum dengan kesengajaan pemilihan kata diputuskan demikian agar bisa melebar,” jelasnya.

“Undang-undang ini benda mati dan kekurangan pasti akan terus ada jika dicari, tetapi yang terpenting itu adalah aparat penegak hukumnya, apakah memiliki kredibilitas tinggi, profesional, integritas, cerdas dalam memahami aturan dan hukum baik dari segi sosiologi hukum atau psikologi hukumnya,” imbuhnya.

Iksan menegaskan bahwa KUHP bukan kitab suci, sehingga masih bisa dilakukan evaluasi. Bahkan, apabila diperlukan akan dilakukan amandemen untuk pasal tertentu.

“Kalau alasannya ini belum sempurna, sebaiknya dibatalkan semua, ya kita akan kembali lagi dengan KUHP yang beda dengan spirit kita sebagai negara merdeka,” paparnya.

Penegakan hukum sejatinya dipengaruhi oleh lima faktor. Iksan mengutip pandangan klasik Soerjono yang menyatakan bahwa lima faktor itu meliputi substansi hukum, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana, kesadaran masyarakat, dan budaya hukum.

Makin masyarakat paham hukum, makin terlihat pula kekurangannya. Hal ini menjadi bagian dari proses perbaikan hukum nasional.

baca juga

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Firda Aulia Rachmasari lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Firda Aulia Rachmasari.

FA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.