Katanya, setiap kali hujan turun di Jakarta, kota ini hanya sedang menahan napas lebih lama dari biasanya. Langit yang menggelap lebih cepat, angin yang membawa aroma aspal serta tanah-tanah yang tak lagi mengenal sebuah resapan.
Orang-orang dalam kendaraan yang seolah baik-baik saja, meskipun layar ponsel dipenuhi pesan yang sama tentang fenomena “banjir di mana-mana.” Kota yang dibangun dari ambisi dan mimpi berjuta manusia, kini harus belajar bertahan dari air yang tak lagi mengenal sebuah kompromi.
Beberapa waktu terakhir banjir bandang dan longsor di Pulau Sumatera adalah peringatan keras tentang apa yang bisa terjadi jika alam terus dirusak. Temuan terbaru menunjukkan bahwa di hulu daerah aliran sungai banyak terjadi pembalakan liar dan penggundulan hutan, yang melemahkan fungsi tanah dan pepohonan sebagai penyangga air.
Ketika hujan ekstrem datang, tanah yang sudah kehilangan pohon dan akar meresap air, berubah menjadi jalur cepat bagi air untuk terus mengalir. Situasi ini memperlihatkan betapa rentannya lanskap hulu DAS bila fungsi ekologis hutan dihancurkan.
Tentunya hal serupa sangat mungkin terjadi pada kawasan resapan di kota besar seperti Jakarta, jika ruang hijau terus menyusut dan kita tetap membiarkan alam dipaksa menyangga pembangunan tanpa kompromi.
Sebagai salah satu warga yang setiap hari menyaksikan bagaimana Jakarta pelan-pelan berubah dari kota yang kuat menjadi kelelahan, hujan adalah jeda. Orang-orang menepi, membeli kopi panas, dan langit menjadi latar yang puitis.
Akan tetapi sekarang, rasanya hujan adalah ancaman. Sosoknya hadir dengan volume yang tak lagi bisa diprediksi, membawa genangan yang berubah menjadi arus, dan arus yang pelan-pelan menjadi banjir di gang-gang sempit yang tak pernah benar-benar disentuh pembangunan.
Perubahan iklim sering dibicarakan sebagai isu global, sesuatu yang berasal dari pabrik-pabrik jauh atau negara-negara dengan cerobong besar. Namun di Jakarta, hal tersebut terasa sangat lokal, sangat personal.
Ia tinggal di talang rumah yang meluap, hingga saluran air yang tersumbat oleh sampah plastik. Perubahan iklim lahir dari keputusan-keputusan tentang izin bangunan yang begitu mudah, ruang terbuka hijau yang dianggap sebagai kemewahan, bukan suatu kebutuhan.
Yang hilang bukan hanya pepohonan, tapi ingatan kolektif tentang bagaimana kota seharusnya memberi ruang bagi air. Di beberapa sudut Jakarta, tanah telah digantikan oleh lapisan paving, dan semen yang tidak memiliki pori. Ketika hujan deras datang, air tak punya tempat untuk pulang.
Drainase yang seharusnya menjadi solusi justru berubah menjadi luka terbuka yang tak pernah benar-benar disembuhkan. Kita sedang membangun Jakarta yang seolah hujan akan selalu ramah, padahal langit telah lama berubah.
Tidak adil rasanya jika semua ini hanya dilimpahkan pada kesalahan masa lalu atau disederhanakan sebatas perilaku warga yang membuang sampah sembarangan. Ada kebijakan yang lahir dari kompromi, ada rencana tata ruang yang terlalu sering dikalahkan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek.
Namun “sialnya” Jakarta adalah kota dengan daya hidup yang keras kepala. Meskipun di tengah genangan, selalu ada warung kopi yang tetap buka, anak-anak yang tetap tertawa di tengah hujan bahkan banjir. Jakarta bertahan sampai hari ini karena mungkin saja warganya terbiasa untuk bertahan. Namun sampai kapan daya tahan itu dijadikan alasan untuk menunda pembenahan?
Berdasarkan data hingga tahun 2023, ruang terbuka hijau di ibu kota baru mencakup 33,34 juta meter persegi (m2) atau sekitar 5 persen dari keseluruhan wilayah kota. Angka ini masih jauh dari bayangan kota ideal yang menempatkan alam sebagai penyangga utama, sebagaimana ditargetkan dalam regulasi nasional, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mendorong porsi ruang hijau jauh lebih besar.
Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut), perlahan mencoba dijawab kekurangan tersebut lewat berbagai upaya perluasan dan penataan taman kota. Setelah sukses membangun 14 RTH baru dan menata 24 lokasi pada tahun 2024, tahun ini Pemprov DKI Jakarta melakukan pembangunan 21 RTH baru dan penataan 73 lokasi yang tersebar di seluruh Jakarta. Selain itu, akan ada penataan RTH di 73 lokasi lainnya, terdiri dari 24 taman, delapan jalur hijau, 20 makam, tujuh hutan kota, empat kebun bibit dan bahkan di 10 lokasi pada Taman Margasatwa Ragunan (TMR).
Sejumlah ruang terbuka kali ini dirancang lebih adaptif, tak hanya sebagai tempat berteduh mata, tetapi juga sebagai ruang resapan air melalui konsep hijau-biru yang memadukan vegetasi dengan kolam resapan dan drainase alami untuk membantu mengatasi banjir.
Harapannya RTH ini dapat menghadirkan kembali fungsi kota sebagai ruang bernapas, menurunkan panas yang kian menumpuk, dan memberi alam sedikit kesempatan untuk menyeimbangkan ulang ritme Jakarta.
Yang dibutuhkan hari ini bukan sekadar proyek baru atau pompa yang lebih besar. Jakarta tidak hanya perlu melawan air, tetapi juga belajar berdamai dengannya. Barangkali sudah waktunya berhenti menganggap hujan sebagai lawan, dan mulai melihatnya sebagai tamu yang perlu dijamu.
Jika suatu hari nanti Jakarta benar-benar tenggelam, mungkin salah satunya karena kita terlalu lama menutup telinga pada suara air yang sejak lama mengetuk. Tanpa tata ruang yang berpihak pada daya dukung alam, perubahan iklim hanya akan melahirkan krisis yang lebih dalam bagi Jakarta.
Lagi-lagi barangkali kita hanya perlu sesederhana kembali menghormati batas-batas alam, memberi ruang bagi air meresap dan pepohonan yang tumbuh dengan akar menguat. Meskipun hujan akan selalu turun dan air akan terus mengikuti arusnya, perubahan iklim telah menjadi kenyataan yang tidak bisa kita hindari. Masa depan Jakarta perlahan ditentukan dari hal-hal sederhana hari ini, tentang bagaimana kita memilih peduli, dan mulai bergerak bersama.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News