Siti Rahayu mengelola galon bekas. Limbah kemasan air minum itu diubah jadi pot tanaman. Tak hanya itu, ia juga memanfaatkan ban kendaraan yang sudah tidak terpakai jadi wadah tanaman.
Di usia 71 tahun, wanita yang kerap disapa Yayuk menggunakan sebagian waktunya untuk merawat tanaman. Dalam hal wadah, Yayuk memanfaatkan barang-barang yang sulit diurai untuk dijadikan pot. Sementara itu, untuk nutrisi tanaman, Yayuk mengolah limbah dapur menjadi ekoenzim.
Yayuk membuat ekoenzim dari fermentasi limbah kulit buah yang dikumpulkan dari dapur rumah tangga. Konsepnya memang dari tanaman untuk tanaman. ekoenzim dapat menyuburkan tanah dan menjaga tanaman tetap hijau.
Dari Lingkungan Gersang ke Cita-cita Masa Pensiun
Kebiasaan Yayuk dalam merawat tanaman bukan baru kali terbentul. Yayuk sudah melakukannya jauh sebelum wilayah tempat tinggalnya ditetapkan sebagai Program Kampung Iklim (Proklim) kategori utama pada 2018.
Proklim adalah singkatan dari Program Kampung Iklim. Program ini merupakan inisiatif nasional yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan didasarkan pada Peraturan Menteri LHK (PermenLHK) Nomor 84 Tahun 2016.
Secara sederhana, Proklim adalah upaya untuk melibatkan masyarakat secara langsung dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Program ini mendorong warga kampung, desa, atau kelurahan agar mampu beradaptasi dengan perubahan iklim sekaligus ikut menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dari aktivitas sehari-hari.
Proklim tidak hanya menekankan aspek lingkungan. Program ini juga memberikan pengakuan resmi kepada masyarakat yang berhasil menjalankan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan di tingkat lokal, sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing.
Program Kampung Iklim mulai dirintis pada tahun 2016, sejalan dengan terbitnya PermenLHK Nomor 84 Tahun 2016.
Bertahun-tahun lalu, kondisi kampung tampat tinggal Yayuk di RW 9 Surodadi, Kelurahan Siswodipuran, Boyolali, bisa dibilang terabaikan. Selokan dipenuhi rumput liar. Pekarangan rumah kering dan kurang terawat.
Yayuk baru saja memasuki masa pensiun pada 2010. Setahun kemudian, suaminya meninggal dunia.
Saat itu, Yayuk mulai membayangkan masa tuanya yang tenang. Ia ingin tinggal di lingkungan yang hijau, bersih, dan nyaman. Apalagi, sebagian besar warga di sekitarnya juga sudah lanjut usia.
“Setelah suami saya meninggal pada 2011, saya kan bingung mau aktivitas apa,” kata Yayuk, dikutip dari Espos.
Suatu hari, Yayuk mengikuti pertemuan kelompok dasawisma. Di sana, Yayuk mengusulkan program pemberdayaan. Ia menggagas pengelolaan sampah bersama. Isinya bukan sekadar membersihkan lingkungan, tetapi juga membangun kegiatan sosial.
“Ayo kita mulai menabung sampah dan mengelola lingkungan,” tuturnya.
Hasilnya pun tidak dibagi sebagai keuntungan pribadi. Uang dari sampah dimasukkan ke kas sosial. Kas itu dapat digunakan untuk menjenguk warga sakit dan kegiatan kemasyarakatan lainnya.
Bank Sampah sebagai Titik Balik
Gagasan pengelolaan sampah bersama kemudian berkembang. Sekitar 2011, bank sampah mulai berjalan. Dukungan datang dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Boyolali. Pada akhir 2012, Yayuk dan warga diajak studi banding ke Yogyakarta.
Di sana, mereka menemukan pemahaman baru. Sampah tidak hanya dikumpulkan dan dijual. Sampah bisa diolah, dimanfaatkan kembali sehingga mengurangi beban tempat pembuangan akhir (TPA).

Siti Rahayu atau Yayuk
Sekembali dari studi banding, Yayuk membagikan pengetahuan itu dalam pertemuan PKK. Warga diajak memilah sampah dari rumah. Daun dan sisa dapur diolah menjadi kompos. Kulit buah difermentasi menjadi ekoenzim. Plastik disusun menjadi ecobrick atau dijahit menjadi kerajinan.
Limbah yang sulit diolah, seperti baterai bekas dan sampah elektronik, dikumpulkan terpisah. DLH Boyolali secara berkala mengambilnya untuk dimusnahkan.
Pengelolaan sampah ini kemudian dilembagakan melalui Bank Sampah Lestari. Kepengurusannya lengkap. Ada komisaris, direktur, bendahara, dan divisi-divisi lain. Pembukuan dilakukan tertib. Kantornya berdiri di atas tanah milik Yayuk sendiri.
Rosita Istiawan Saat Buka Hutan Megamendung: Kalau Hutan Sudah Tidak Ada, Ayo Bikin
Sampah Organik Menjadi Kunci
Menurut Yayuk, sekitar 60% sampah yang disetorkan warga adalah sampah organik. Kondisi ini membuat pelatihan pengolahan sampah organik menjadi kebutuhan penting. Warga tidak cukup hanya memilah. Mereka perlu tahu cara mengolah.
Pelatihan pembuatan kompos, ekoenzim, dan ecobrick pun dilakukan bertahap. Bersamaan dengan itu, prinsip reduce, reuse, recycle (3R) mulai diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Warga membiasakan diri menggunakan gelas kaca saat menjamu tamu. Tisu diganti kain lap’kain perca dijadikan taplak meja’; hingga galon bekas diubah menjadi pot tanaman.
“Sampahnya kan dari kita ya harus diselesaikan oleh kita,” ujar Yayuk.
Proklim yang Menyentuh Rumah Tangga
Ketika Proklim masuk ke Surodadi, program ini tidak berdiri sendiri. Ia menyatu dengan kegiatan PKK. Ada adaptasi. Ada mitigasi.
Program adaptasi dijalankan bersama Pokja 4 PKK. Fokusnya kesehatan keluarga dan lingkungan. Kegiatannya meliputi pembuatan sumur resapan, lubang biopori, dan penerapan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
Program mitigasi dijalankan bersama Pokja 3 PKK. Wujudnya lebih kasatmata. Setiap rumah diminta menanam pohon buah.
“Per rumah menanam pohon buah-buahan, jadi untuk peneduh sekaligus untuk gizi,” kata Yayuk.
Selain itu, warga menanam cabai, tomat, terong, dan tanaman obat keluarga. Saat dibutuhkan, tinggal memetik dari pekarangan.
Di setiap rumah juga ada juru pemantau jentik (jumantik). Setiap pekan, warga melaporkan kondisi tempat penampungan air. Upaya ini menjadi bagian dari gerakan pemberantasan sarang nyamuk.
Sosok Suswaningsih, PNS yang Berjuang Hidupkan Lahan Tandus di Gunungkidul
Menabung Lingkungan untuk Generasi Depan
Sejak awal, Yayuk tidak pernah menjanjikan keuntungan materi. Ia lebih sering mengajak warga berpikir jangka panjang.
“Menabungnya bukan rupiah, tapi menabungnya di lingkungan untuk generasi masa depan,” ujarnya.
Meski begitu, manfaat ekonomi tetap dirasakan. Dana bank sampah pernah digunakan untuk membantu membiayai BPJS Kesehatan kelas III bagi warga yang membutuhkan. Hampir setahun dana itu menopang biaya pengobatan warga.
Bagi warga lansia, kegiatan ini juga menjadi ruang untuk tetap aktif. Sri Rahayu, 72 tahun, misalnya, masih tekun menjahit limbah plastik menjadi tas dan tikar.
“Dengan memelihara lingkungan, tempat tinggal kami jadi teduh dan bersih,” katanya.
Mengenal Rahayu Oktaviani, Wanita Hebat Konservasionis Primata Owa Jawa
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


